29| Takut

551 103 3
                                    

"Hal yang sangat nggak enak itu ketika kita bukan jadi prioritas seseorang, tapi kita memprioritaskan orang itu di hidup kita."

***

Pertengkaranku dan Putra sebenarnya karena hal yang sangat sepele. Tapi karena aku dan Putra nggak ada yang mau mengalah, akhirnya sampai dua hari lamanya aku dan dia nggak bertegur sapa. Bahkan nggak sengaja papasan pun, aku dan Putra langsung so-soan nggak kenal. Rasanya aku masih kesal ke Putra karena dia nggak mau mengertiku tapi selalu menuntutku untuk mengerti dirinya. Nggak adil kan?

Kejadian seperti itu bukan kemarin saja. Sejak aku jadi pacar Putra, sudah beberapa kali aku ada di keadaan dimana aku harus memberikan atensiku pada Putra dan berusaha terus memahami dia. Itu bukan hal yang sulit sebenarnya, karena aku pun sejak dulu dituntut untuk berusaha memahami orang lain dan tidak menghakimi mereka, apalagi sekarang aku kuliah di jurusan psikologi. Tapi dalam sebuah hubungan, walaupun aku dan Putra hanya sebatas pacaran, namun aspek mengerti dan memahami itu harus ada kata "saling". Kalau aku mengusahakan itu untuk Putra, harusnya Putra pun mengusahakan itu untukku. Wajar kan kalau rasanya sekarang aku kesal banget?

Sekarang hari ketiga aku dan Putra masih marahan, ku kira hari ini akan seperti hari kemarin. Tapi saat aku buka pager mau ngeluarin motor untuk pergi ke kampus, di depan pager ada Putra yang lagi duduk di atas motornya. Aku mengernyit menatapnya.

"Gis." Panggil Putra lalu mendekatiku. "Motornya masukin lagi aja, berangkat bareng gue."

"Gue berangkat sendiri aja." Balasku sedikit jutek.

"Gue minta maaf, Gis. Sorry, karena udah bikin lo marah. Dua hari diem-dieman sama Lo, bener-bener nggak enak, Gis."

Aku menghela napas. Aku pun merasa nggak enak banget karena harus diem-dieman sama Putra.

"Gue juga minta maaf, Put. Lagian gue nggak marah kok, cuman kesal aja." Ujarku.

Putra pun tersenyum, "Oke, jadi kita berangkat bareng, ya?"

Aku menggeleng.

"Kenapa? Masih kesal?"

"Dikit."

"Terus keselnya kapan beres?"

Aku menggeleng lagi, "Nggak tahu."

"Oke, kalau udah nggak kesel kasih tahu aja, ya. Sekarang lo boleh berangkat sendiri pake motor lo, gue ikutin lo di belakang."

Dan Putra benar-benar mengikutiku di belakang walaupun aku sempat ngebut, dia tetap menyusulku. Okelah, mungkin pertengkaranku dengan Putra cukup sampai sini aja. Toh, rasanya ternyata emang se-enggakenak itu ketika kita diam-diaman sama orang yang kita suka.

***

"Gisa, udah nunggu lama?"

Aku menghentikan aktifitas baca komik onlineku di ponsel dan mendongkak menatap Papa yang sekarang sudah duduk dihadapanku. Hari ini aku janjian untuk makan siang bareng sama Papa.

Btw, sejak Papa dan Mama pisah, Papa selalu bertemu denganku hampir setiap minggu, Mama pun nggak melarang Papa untuk bertemu kami. Tapi sejak Papa menikah dengan Tante Ica, intensitas pertemuan kami jadi lebih berkurang. Sekarang aja pertemuanku sama Papa setelah hampir dua bulan lamanya tidak bertemu.

"Baru sebentar, kok. Papa apa kabar?" Ujarku.

Papa tersenyum, "Baik, alhamdulillah. Ohya, Papa udah denger berita tentang Mama kamu."

Aku tersenyum. Hubungan Papa dan Mama setelah cerai itu memang terlihat baik-baik aja. Buktinya sekarang Papa tahu Mama bakal nikah lagi, berarti Mama udah cerita kan ke Papa.

Persona | Seri Adolescence ✅Where stories live. Discover now