BAB 1

8 4 0
                                    


Sudah banyak kesulitan yang kulalui. Terkadang aku melewatinya, kadang aku menghindarinya, pernah juga aku sengaja meninggalkannya. Kali ini, satu lagi kesulitan yang sedang kuhadapi. Aku berusaha mengingat-ingat lagi kesalahan apa saja yang mungkin saja membawaku pada situasi sulit ini. Mungkin saja ucapan orang lain yang tak kuindahkan. Ataukah tanda-tanda keganjilan yang tak kuperhatikan. Yang sudah pasti, kesempatan untuk mencegah itu sudah tak ada lagi. Dinamit sudah meledak, tanpa aku mempersiapkan diri sebelumnya. Dua kombinasi sempurna, yang pertama, aku terlalu bodoh untuk menyadarinya, kedua dia sangat pintar menyembunyikannya.
“Nafisa?” Suara Bu Diyah memanggilku, menarikku dari pikiran kacauku. Aku membalasnya dengan menganggukkan kepala sedikit.
“Apa yang akan kamu lakukan untuk membayar kesalahan yang sudah kamu lakukan kepada Novela?” tanya Bu Diyah lagi. Aku merasa sedih, kenapa aku dianggap sebagai penyebab kesalahan satu-satunya.
“Aku akan menjauhinya, supaya ia tak bisa melihatku lagi.” Jawabku tenang, itu adalah permintaan yang ia tulis dalam buku hariannya, yang sudah kumasukkan dalam kobaran api, secara tak sengaja.
“Bagaimana caranya kamu melakukan itu? Kamu tak berpikir untuk pindah sekolah, kan?” Ia melanjutkan.
“Tidak, aku akan menghindar jika kami berpapasan, duduk saling berjauhan, dan tidak bicara padanya selamanya.” Jawabku.
“Kenapa begitu, bukannya kalian berteman baik sebelumnya?” Ia bertanya kembali.
“Awalnya aku pun berpikir begitu, tapi teman yang baik seharusnya mau mengatakan yang sebenarnya, tidak menyembunyikan apapun.” Jawabku lagi.
“Apakah maksudmu Novela adalah teman yang tak baik, sehingga kamu merasa pantas untuk membalas dendam kepadanya? Jadi kamu membakar buku hariannya?” Bu Diyah menyelisik. Terkejut dengan pertanyaan itu, aku menatap pada matanya tidak percaya. Ia benar-benar tidak percaya bahwa aku menjatuhkan buku itu secara tak sengaja.
“Bukan begitu, Ibu. Aku hanya melakukan apa yang diinginkan oleh Novela, ia menulis dalam buku harian itu. Ia bilang jika dia sangat membenciku, ingin aku tak pernah ada dalam kehidupannya. Padahal di depanku, ia bersikap baik dan menjadi teman bagiku.” Jawabku lagi.
“Tapi kamu sudah melakukan kesalahan terhadapnya, kamu membakar buku hariannya yang sangat berharga. Sebagai teman yang baik, sebaiknya kamu menyesal dan minta maaf padanya. Saran dari ibu, bicaralah yang baik kepadanya, perbaiki hubungan kalian, jalin komunikasi yang lebih baik. Itu jawaban yang ibu harapkan darimu dari pertanyaan tadi.” Saran Bu Diyah.
“Tapi aku sudah sangat kecewa dengannya, kenapa ia mengkhianatiku begitu. Jika ia membenciku seharusnya ia tak perlu berpura-pura menjadi temanku.” Jawabku hampir putus asa.
“Apa kamu percaya dengan apa yang ditulis dalam buku itu? Kamu yakin kamu tidak salah baca atau salah menangkap maknanya? Mana mungkin teman yang baik bisa menulis hal-hal buruk tentangmu begitu. Sebaiknya kalian bertemu dan mengobrol.” Bu Diyah tak pantang menyerah menyarankan agar kami berdua mau baikan. Sudah jelas, bahwa saran itu tak akan pernah kuterima.
“Aku tak ingin menyakiti diriku sendiri. Aku tak ingin berteman dengannya lagi, dan aku yakin aku tidak salah baca.” Jawabku.
“Apa kamu tak ingin membantunya melewati masa-masa sulit? Kamu temannya, kamu tahu ia suka menulis, dan ia baru saja kehilangan karya-karya hasil tulisannya. Jadilah teman yang baik, katakan bahwa kamu menyesal, dia pasti memaafkanmu. Ia tak berhenti menangisi tulisannya yang sudah jadi abu, tidakkah kamu merasa bersalah?” Bujuk Bu Diyah.
“Novela tidak suka menulis, Bu. Hobinya adalah menyanyi dan bercerita. Ibu bisa melihatnya di akun media sosial miliknya. Dia berbohong soal cerpen dan puisi. Saya membacanya sendiri bahwa tulisan itu tentangku.” Jawabku.
“Kamu sebelumnya bilang hanya membaca buku harian itu sebagian, satu paragraf saja karena tertulis namamu di sana. Bagaimana kamu yakin ia berbohong, kamu kan tidak membaca keseluruhan isinya? Sepertinya teman yang tak baik itu kamu bukan dia.” Bantah Bu Diyah. Ia benar, masalahnya di sini adalah aku terlalu berkata jujur saat yang kuhadapi sekarang adalah pembohong ulung, pandai berpura-pura, yang selama ini kuanggap teman. Jika aku berbohong bahwa aku membaca buku tersebut secara keseluruhan, mungkin aku akan bisa melawan. Mungkin aku akan mendapatkan masalah karena dianggap melanggar hak pribadi orang lain, meski itu sebuah kebohongan. Tak ada gunanya juga memikirkan itu sekarang, aku sudah telanjur mengatakannya kejujuran, yang justru merugikanku. Bagian diriku yang lain mengatakan, teruslah baik, itu akan berbuah manis di masa depan. Ingin aku percaya padanya, tapi rasanya aku ingin marah-marah.
“Apakah sesulit itu untuk meminta maaf? Dan menyesali apa yang sudah kamu perbuat?” Bu Diyah berkata saat aku terdiam. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan, ini benar-benar menyebalkan.
“Baik, saya mengakui bahwa saya bersalah karena membaca buku Novela dan tidak sengaja membakarnya.” Jawabku dengan berat hati.
“Oke, baiklah. Jadi, sebelum ini berakhir, ibu akan menjelaskan poin-poin penting dari kejadian ini. Yang pertama yaitu, kamu harus menyadari bahwa kamu bersalah karena membaca buku harian orang lain tanpa sepengatahuan pemiliknya. Meski kamu bilang itu tak sengaja karena kamu melihat namamu, tetap saja kamu tak punya hak untuk membacanya. Yang kedua, kamu sudah membakar buku harian milik seseorang, yang diakui pemiliknya berisi kumpulan cerpen dan puisi ciptaannya. Poin ketiga, ibu berharap kamu tak mengulangi kesalahan itu lagi di masa depan. Selanjutnya, ibu berharap kamu menggunakan kesempatan esok hari untuk berbuat lebih baik dari hari ini.” Bu Diyah menjelaskan. Jadi, pembicaraan ini sudah sampai akhir dan ia tetap lebih percaya kepada Novela daripada kepadaku. Aku tak percaya bahwa ia menulis puisi dan cerpen dalam buku itu. Ia menulis betapa bencinya ia terhadapku. Bukankah itu hanya ungkapan perasaan terdalamnya? Sangat jauh dari ekspresi seni dan keindahan sastra. Sangat sulit percaya kepada orang yang sudah membohongiku selama ini. Jika pura-pura menjadi baik di depan orang yang dibencinya saja ia sanggup. Apalagi hanya sekadar menangis di depan orang-orang dan pura-pura manjadi orang yang tersakiti. Hebatnya, orang-orang di sekolah lebih pecaya kepadanya.
“Nafisa! jangan melamun.” Suara Bu Diyah membawaku kembali. Aku pun sadar dan berdiri dari dudukku, bersiap untuk meninggalkan ruangan dan kembali ke kelas.
“Bu, bolehkah aku mendapatkan jawaban dari Novela dari tanya-jawab ibu dengan dia?” Aku tidak jadi melangkah pergi, tapi duduk kembali. Bu Diyah sedang menghirup teh dari cangkir, segera menaruhnya kembali di meja.
“Aku tak akan memberikan jawaban detailnya, itu rahasia kami. Yang jelas, ia sangat sedih dengan apa yang terjadi. Tapi ia berharap pertemanan kalian bisa kembali seperti dulu, ia memaafkanmu. Ia berharap kamu mau memaafkan diri sendiri dan menjadi lebih baik lagi.” Jawab Bu Diyah. Aku marah mendengar jawaban itu, kenapa ia begitu mudahnya membohongi orang lain. Apa sebenarnya sih yang ia mau.
“Apa ibu bertanya kepadanya, kenapa ia menulis di buku hariannya bahwa ia membenciku, dan berharap aku tak pernah ada di kehidupannya. Tetapi di kehidupan sehari-hari ia bersikap baik terhadapku?” Aku memberanikan diri untuk bertanya. Bu Diyah terlihat terkejut dan menunjukkan sikap berhati-hati.
“Ya, ibu menanyakan itu kepadanya. Ia bilang itu hanya kesalahpahaman, kamu menangkapnya dengan keliru, itu karena kamu membacanya sekilas saja. Intinya bukan itu Nafisa, kamu harus sadar bahwa buku harian adalah milik pribadi seseorang, kamu tak berhak untuk membacanya, kamu sudah melewati batas. Oleh karena itu ibu menyarankanmu untuk berbicara dengannya dan selesaikan permasalahan.” Tegas Bu Diyah.
“Tapi apakah orang punya hak untuk menulisku begitu buruk di buku hariannya? Apa kesalahan yang sudah kuperbuat? Bukankah seharusnya ia membicarakan secara langsung?” Tanyaku lagi.
“Nafisa, apa kamu tadi tidak mendengarkan? Itu salah paham saja, coba kamu bicara dengan Novela. Itu sudah di luar dari masalah ini. Masalah pentingnya adalah kamu sudah melenyapkan benda berharga milik orang lain.” Tegas Bu Diyah lagi, membuatku terdiam.
“Nafisa, jangan berdiri di situ, silahkan kembali ke kelas.” Ia berkata sambil membawa cangkir tehnya, bersiap untuk minum. Pasti sangat melelahkan ya berbicara denganku. Aku masih diam di tempat, masih tak percaya dengan yang baru saja terlewat. Kenapa ia tak mempercayaiku.
“Kenapa? Apakah masih ada yang ingin kamu sampaikan?” Bu Diyah bertanya lagi.
“Tidak, Bu. Terima kasih banyak atas bantuannya. Saya tahu saya bersalah, tapi ini bukan salah saya sepenuhnya, saya ingin menemukan orang yang sependapat dengan saya.” Jawabku tersenyum.
“Keluarga dan orang-orang yang menyayangimu akan melakukannya untukmu. Saya di sini tugasnya menyampaikan dengan jujur, supaya kamu lebih sadar akan kesalahanmu, untuk membuatmu lebih baik lagi.” Jawab Bu Diyah tegas.
“Baik, Bu. Saya pamit ke kelas.” Kataku dan pergi meninggalkan ruangan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 06, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kata, Kalimat, KebohonganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang