//22// Menunggu Lagi: Terakhir kalinya

30 3 0
                                    

Hai lagi..




----•°•°•°•----

Seminggu sudah setelah kejadian penculikan yang terjadi pada Argha. Sedangkan anak itu kini duduk diatas bangsal rumah sakit. Duduk termenung, menatap kosong kearah sajian sarapan khas rumah sakit yang ada didepannya.

Sunyi, itu yang ia rasakan seminggu terakhir ini. Hanya terdengar suara jam yang tertempel didinding diatas jendela. Ia merasakan cairan bening mengalir jatuh melewati pipinya. Ia menangis tanpa sebab, lagi. Selama seminggu ini, Argha selalu begini. Diam, dan mengeluarkan air mata dengan sendirinya. Tanpa sebab.

Pandangannya beralih pada jendela yang terbuka, menampilkan gambaran langit cerah disana, dengan awan-awan yang menghiasinya. Entah apa yang ia lihat, tatapannya tetap terlihat kosong. Seperti tidak ada kehidupan didalam sana.

Wajahnya pucat sekali, seperti ada penyakit yang menggrogoti tubuhnya. Bibirnya pucat, matanya sayu. Seperti orang sakit keras. Entah apa yang ia pikirkan saat ini, hanya ia dan Tuhan yang tahu.

Suara pintu terbuka perlahan, tidak mampu mencuri perhatian Argha untuk melihat siapa yang membuka pintu itu. Disana, tepat setelah pintu dibuka, menampilkan dua orang yang perlahan menghampirinya dengan membawa buah-buahan. Mereka, Rafa dan Doni.

Mereka berdua juga sempat dirawat sebentar dirumah sakit yang sama dengan Argha. Tapi hanya sebentar, mereka hanya kelelahan, kelelahan dalam melawan orang-orang itu dan berakhir dirawat selama semalam. Begitu juga dengan Nisa. Sekarang mereka berdua yang berusaha selama seminggu terakhir selalu mengajak Argha bercanda dan mengobrol. Namun alih-alih membalas seperti biasanya, Argha malah diam dengan tatapan kosong. Dan selama seminggu ini juga, Argha tak berbicara. Hanya saat ia menangis saja, terisak hebat hingga mengundang perhatian orangtuanya. Berakhirlah Mamanya menenangkannya, ia hanya terus seperti itu selama seminggu belakangan. Tidak ada perubahan.

"Gha, dimakan buburnya. Lo gak mau sembuh? Gak mau ketemu sama Keyara?" pertanyaan dari Rafa mengalihkan perhatiannya. Ia menoleh sekilas pada Rafa, tapi kembali lagi mengarahkan pandangannya kearah jendela terbuka. Rafa menghela napasnya panjang. Selalu begini.

Argha merasakan kembali air matanya jatuh mengalir melewati pipinya, ia menunduk dalam, terisak pelan kala sekelebat kejadian seminggu lalu terlintas dikepalanya. Bagaimana ia meneriaki nama Keyara ditengah-tengah tangisnya. Begaimana ia memeluk erat tubuh Keyara dengan isakan yang menyesakkan dada. Bagimana mulut Keyara mengucapkan nama yang dibuat sendiri oleh Keyara untuknya. Tundukannya semaki dalam.

Doni yang melihat keadaan Argha sekarang, ikut menangis. Ia memalingkan wajahnya, lalu berjalan kearah jendela. Menghirup banyak udara agar dadanya tak ikut merasakan sesak.

Rafa menepuk-nepuk pelan punggung atas Argha, ia memindahkan makanan rumah sakit itu dari hadapan Argha dan menaruhnya diatas nakas disamping tiang infus Argha. Ia juga memindahkan meja khusus menaruh makanan itu dibawah samping nakas. Ia beralih duduk diatas bangsal Argha. Sebenarnya ia ingin menangis juga, tak tega rasanya melihat temannya itu dalam keadaan seperti ini. Lalu dengan begitu saja, ia memeluk Argha, mendekap tubuh itu. Menepuk-nepuk punggung Argha, sebagai pengganti kata penenang.

Argha melepaskan pelukan Rafa, menatap cowok itu dengan tatapan putus asa. Dengan air mata yang terus mengalir. "Ara gimana?"

Dengan pertanyaan yang Argha lontarkan padanya, Rafa tersenyum tipis. Akhirnya, temannya itu mengeluarkan suaranya. Rafa sudah menebak kalau hal pertama yang Argha ucapkan adalah keadaan Keyara. "Keyara baik-baik aja, tapi masih belum sadar. Lo harus makan dulu, biar nanti kalau Keyara sudah sadar, dia ngeliat lo sehat."

MENUNGGU [Younghoon] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang