Yura, itu nama gadis kecil bermata hitam sejernih kolam yang tampak manis dalam gaun princess dan bando mini mouse yang menghiasi rambut indahnya.
Mata gadis itu berkaca-kaca saat Wanita cantik yang menggandeng tangannya memberitahukan satu hal yan...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Yang mau baca Rara secara lengkap udah ada E-booknya ya. Cuss langsung ke PlayStore. Happy Reading, enjooy
"Rara, kamu hamil?"
Aku memutar bola mataku malas mendengar pertanyaan yang sama terulang dua kali, Mas Yudha tampak terkejut tidak menyangka, wajahnya sekarang pucat pasi berbeda dengan Mbak Irish yang tampak khawatir.
Mbak Irish mungkin berakting jika aku telah menyakitinya, tapi reaksi Mas Yudha yang tidak bisa berkata-kata melihat apa yang terjadi pada diriku tentu saja di luar dugaan Mbak Irish.
Aku menyentak tangan Mas Yudha, cekalannya pada tanganku karena mengira aku menyakiti wanita yang dicintainya terasa menyakitkan.
"Aku tidak hamil, perutku buncit karena aku bahagia bisa bercerai denganmu, kamu nggak lupa dengan kalimat itu kan, Mas Yudha." Jawabku ketus, tidak mau berlama-lama di depan dua orang ini aku segera meraih slingbag yang tadi aku letakkan di atas meja. Hal yang paling tidak aku inginkan sekarang adalah Mas Yudha tahu jika aku sedang mengandung anaknya.
Tapi Mas Yudha tidak membiarkanku pergi begitu saja, Polisi yang kini tidak memakai seragamnya tersebut justru semakin mencekal tanganku dengan kuat, membuat beberapa pengunjung foodcourt melihat kami dengan tatapan bertanya, aku yang meronta meminta di lepaskan oleh Mas Yudha, Mbak Irish yang berusaha membuat Mas Yudha melepaskan aku.
"Katakan dengan benar, apa kamu hamil anakku, Ra? Bagaimana bisa kamu menyembunyikan hal sebesar ini dariku?"
Mbak Irish menggeleng mendengar Mas Yudha yang mulai kalut saat menebak jika bayi yang aku kandung memang anaknya. "Dia nggak hamil anakmu, Mas. Kalau dia hamil anakmu, mana mungkin dia mau bercerai denganmu. Kamu tahu sendiri, kalau dari awal dia sangat menyukaimu, mana mungkin dia melewatkan kesempatan untuk memilikimu dengan dalih anak, Mas."
Mataku membulat tidak percaya dengan ucapan berbisa dari Mbak Irish ini, tepat di depan wajahku dia memfitnahku, ternyata otak dan hatinya sudah mati, sungguh menjijikkan Mas Yudha ini, dia kehilangan posisinya sebagai Kapolsek hanya demi wanita munafik ini, sebenarnya ada masalah hidup dan psikis apa Mbak Irish ini, hingga wanita sesempurna dirinya ini mempunyai kehaluan dan sikap yang tidak waras dalam berpikir.
Mas Yudha mengguncang bahuku kuat, memintaku untuk menatapnya, "katakan kalau yang di ucapkan Irish tidak benar, dia bayiku, kan? Kamu nggak semurahan itu dengan hamil setelah kita bercerai." Serendah itukah aku di mata Mas Yudha hingga dia perlu menanyakan kebenaran dari ucapan omong kosong Mbak Irish.
Sungguh aku di buat kehilangan kata oleh mantan suamiku ini, bertahun-tahun kami saling mengenal, empat tahun kami bersama sebagai suami istri dan untuk hal sekonyol ini dia masih menanyakan benar atau tidak.
"Dia mau bercerai denganmu karena takut ketahuan kalau itu bukan anakmu, Yudh. Jangan karena melihat dia hamil hatimu luluh dengannya, kamu nggak boleh ninggalin aku hanya karena adik angkatmu itu hamil anak orang yang nggak jelas."
Mas Yudha masih menunggu jawaban dariku, sama sekali tidak meminta cintanya itu diam dan berhenti menghinaku. Kesal setengah mati dengan keadaan yang terus menerus melukaiku membuatku melepaskan tangan Mas Yudha dan beringsut mundur.
"Yang aku kandung bukan anakmu, Mas Yudha. Bagaimana mungkin aku mau mengandung anak dari laki-laki yang sudah menendang istrinya begitu saja hanya demi masa lalunya yang belum dia lepaskan."
"Jangan bohong, Rara." Raungan frustasi Mas Yudha menarik perhatian, jika tadi mereka hanya melirik penuh minat, maka sekarang beberapa pengunjung mulai mendekat pada kami. "Katakan jika benar itu anakku."
"Yudha, itu bukan anakmu."
"Diamlah, Rish. Jangan membuatku semakin pusing dengan semua ulahmu."
Aku berdecih sinis mendengar ucapan dari Mas Yudha, kalimatnya terlalu ambigu, masih sarat dengan ragu. "Jika benar? Memangnya dia anakmu atau bukan akan mempengaruhi keadaan? Bukannya kamu sendiri yang bilang jika kalian berdua tengah berbahagia menanti kehadiran anak yang kamu harapkan, Mas Yudha? Anak yang tidak bisa aku berikan padamu, dan menjadi tuntutanmu dalam menceraikan aku."
Aku mendorong dada itu pelan sembari menusuknya dengan telunjukku, aku sungguh muak dengan semua ketidakadilan yang terjadi karenanya, kemarahan yang mengendap selama bertahun-tahun dan tidak bisa aku salurkan kini meledak tanpa bisa aku cegah.
"Kenapa kamu bernafsu sekali menanyakan apa dia anakmu? Apa kamu akan mengambilnya dariku juga setelah kamu membuatku nyaris mati karena semua luka yang kamu torehkan? Kamu sudah membuangku, kamu tidak berhak atas apapun yang ada di diriku termasuk anak ini?"
"............ "
"Kamu membuangku dengan alasan aku mandul, dan jika sekarang wanita pilihanmu yang tidak bisa memberikan anak untukmu, maka itu adalah hukuman untuk orang jahat seperti kalian."
"............ "
"Ini semua hanyalah awal dari penderitaan, dan karma untuk kalian. Tuhan tidak akan memberikan anak pada wanita jahat seperti wanita yang kamu cintai, wanita cantik tapi hatinya begitu buruk, bukan aku yang mandul, tapi wanita pilihanmu itu."
Plaaaaakkkkkm
Tamparan keras aku rasakan di pipiku hingga telingaku terasa berdenging, rasa panas dan sakit menjalar di pipiku, bahkan suara orang yang berusaha menarikku dan menanyakan apa aku tidak apa-apa terdengar samar.
"Laki-laki macam apa yang memukul wanita, Bung."
"Mbak nggak apa-apa?"
"Jangan kasar apalagi ke wanita hamil, Mas."
"Mbak, bisa dengar saya?"
"Sudah buang istrinya demi pelakor, masih aniaya mantan istri, laki macam apa kamu ini, Mas."
"Pantas saja Mbaknya bilang kalau itu bukan anaknya, siapa yang sudi anaknya punya Bapak edan kayak sampean.".
Aku memegang pipiku kuat, menahan tangis yang akan jatuh karena perlakuan kasar Mas Yudha, dia sering kali berlaku kasar padaku, tapi menamparku seperti sekarang adalah hal yang tidak pernah dia lakukan.
"Jangan pernah hina Irish, kamu nggak tahu apa-apa soal kesakitan yang sudah di lalui Irish. Memang benar yang dia katakan, seorang wanita culas sepertimu tidak akan mengandung anakku, sikapmu yang tidak mau menjawab adalah hal nyata jika dia benar bukan darah dagingku."
Well, bahkan di saat tahu aku bukanlah seorang wanita yang buruk dan begitu rendahnya, Mas Yudha memilih mengiyakan omong kosong yang di lontarkan oleh Irish. Aku tidak tahu di mana otak Mas Yudha, tapi kepintarannya dalam berpikir seorang Perwira Polisi yang bahkan pernah menjadi pimpinan Kapolsek seperti hilang tidak ada.
Yang ada di otaknya hanyalah semua ucapan Irish yang benar.
Beberapa orang menarikku untuk mundur, kini bukan aku yang membuka suara membalas umpatan dari Mas Yudha yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, tapi orang-orang di sini yang memaki dan mengumpat dua pasangan yang begitu jahatnya.
Bahkan orang yang tidak mengenal kami saja tahu yang mana salah dan yang benar, tapi Mas Yudha?
"Jangan menangis untuk laki-laki tolol seperti mantan suamimu itu, dia bukan tidak mempercayaimu, tapi dia kepalang malu dengan keputusannya membuangmu demi seorang yang sama sekali tidak sebanding denganmu."
Aku menatap Mas Yudha sembari tersenyum miris, menertawakan dia yang begitu bodoh dan menelan bulat-bulat semua hal yang berkaitan dengan cintanya.
"Kamu hanya perlu gunakan otakmu untuk berpikir bayi yang aku kandung anakmu atau bukan, Mas? Kamu tahu dengan benar apa jawabannya, tapi kamu lebih milih membenarkan ucapan salah wanita yang kamu cintai! Apa masih belum cukup Mas kamu sakitin aku demi dia? Jika belum ayo lukai aku lagi."