Bagian Tiga Puluh Enam : Kebohongan

2K 381 23
                                    

"Aku tidak apa-apa, Maria."

"Bagaimana bisa kamu berkata begitu? Jelas sekali kamu terluka parah." Maria menangis tersedu-sedu di ranjangku.

Aku kebingungan untuk menenangkannya. Upayaku untuk memberi pengertian tampaknya gagal total, ia masih menangis dan wajah cantiknya dipenuhi oleh air mata. Yah, dia masih kecil sekarang, wajar baginya untuk kesulitan menahan diri dan kemudian menangis. Tidak seperti aku yang memiliki jiwa dewasa, Maria murni merupakan anak kecil.

"Aku akan segera sembuh. Setelah ini, ayo bermain bersama!"

Ini lucu, seharusnya aku yang dihibur karena sakit. Lantas, mengapa ini sebaliknya?

Efek pengeluaran sihir tidak terduga jauh berakibat fatal untuk tubuhku. Itu lebih berbahaya dari apa yang telah aku duga. Tubuhku tidak mampu menahan lonjakan aliran mana yang keluar dan pada akhirnya aku sakit parah selama berhari-hari. Itu normal, aku pada dasarnya bukan orang dengan keterampilan sihir. Mungkin jika mana milikku tidak melebihi batas, aku bisa menjadi penyihir yang baik. Tapi kasusku jauh berbeda, tubuhku menerima banyak asupan mana dan membuat tubuhku secara berkala menjadi lemah.

Satu-satunya cara untuk mengatasi kondisiku adalah dengan bantuan kuil. Melalui pendeta Mielle, ia melakukan pemurnian dalam tubuhku untuk mengurangi dampak mana. Ayah juga secara khusus memberiku bola sihir untuk melepaskan mana, tapi itu jarang terpakai karena aku sendiri kesulitan mengontrol mana milikku sendiri. Lebih baik tidak menggunakan itu jika pada akhirnya memberikan resiko berbahaya.

"Betulkah?" Maria mengelap ingus di hidungnya dengan sapu tangan pemberian Ashiel yang sejak tadi jengah melihatnya menangis.

Begitu Maria ingin mengembalikkan sapu tangan itu ke arah Ashiel. Anak itu menggeleng dengan keras.

"Ya, aku akan mengajakmu ke Taman Bezamor. Ayah sedang membuat rumah pohon disana. Kita akan bermain bersama setelah aku sembuh. Aku berjanji." Aku menjulurkan jari kelingkingku ke arah Maria yang sudah familiar dengan itu.

Sangat menyedihkan bahwa hari-hariku harus berlangsung dengan membosankan di atas ranjang. Tapi aku harus menerimanya dengan lapang dada. Dibandingkan itu, aku mulai mengingat sesuatu.

Aku menatap Sella dan tanpa bertanya, Sella mengangguk dan berjalan kearah meja, membuka laci, dan kemudian kembali menghampiri kami.

Ia membawakan kotak berwarna biru yang berisi Gelang Oceana. Itu hadiah yang akan kuberikan untuk Maria. Akan lebih baik jika aku memberikan ini dengan kondisi sehat. Tetapi ini terjadi sebaliknya.

Aku mengeluarkan benda itu dan Maria menerimanya dengan wajah bingung. "Apa ini?"

"Gelang Oceana. Itu akan memberkatimu dan menjauhkanmu dari bahaya. Apakah kamu menyukainya?" Aku bertanya dengan harap-harap cemas.

Sebagus-bagusnya sebuah benda, tidak akan ada artinya jika penerima tidak menyukainya. Namun, tampaknya itu adalah kekhawatiran yang sia-sia. Pipi Maria bersemu merah dan matanya berkaca-kaca. "Aku menyukainya." Katanya.

Maria tampak sedih begitu tahu bahwa alasanku keluar adalah untuk membeli gelang ini. Ia berkata bahwa salahnya hingga membuatku terluka. Tapi demi tuhan, itu bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan Maria. Maksudku, aku adalah orang yang memilih pergi membeli hadiah tanpa sepengetahuannya. Jadi jelas itu bukan salahnya.

Penyerangan itu murni adalah sebuah tragedi tidak terduga.

"Sekarang berhenti. Kamu sudah menghabiskan satu jam disini dan saatnya kamu pulang." Ashiel berkata dingin dengan wajah datar. Ia menarik tangan Maria yang enggan beranjak.

"Kamu pelit! Apa maksudmu dengan pergi? Aku akan disini. " Maria tentu saja tidak menyerah begitu saja.

Ashiel berdecak kesal. "Jangan egois. Elda harus beristirahat dan kamu tidak bisa mengganggunya."

Why is the Male Lead in My Home?Donde viven las historias. Descúbrelo ahora