Jingga

398 34 8
                                    

Keluarga Agratama sedang berbahagia menantikan putra bungsu mereka lahir. Saat ini mereka sedang sarapan di meja makan. Dira menyiapkan makan untuk semua anaknya dan suaminya. Perutnya sudah membuncit jadi ia putuskan ia tidak akan memasak untuk beberapa bulan kedepan.

"Mama habis ini Nana punya adek lagi?"

"Itu adek Jeno"

"Nggak adek Haikal"

"Pastinya adek kita semua" ucap Juna mengakhiri perdebatan.

Dira dan Tama hanya terkekeh. Hingga Dira merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya.

"Mass.... Perut aku sakit banget akh" Tama langsung sigap menggendong Dira dan menyuruh supirnya menyiapkan mobil untuk mereka berangkat ke rumah sakit.

****
Oeee..

Tangisan yang Tama dengar bukanlah tangisan keras seperti bayi pada umumnya. Di depan ruang operasi Tama mengusap kepalanya gelisah. Hingga pintu operasi terbuka menampakkan istrinya yang sedang tertidur akibat obat bius.

"Dimana anak saya sus?"

"Maaf Tuan, anak Tuan masih di dalam perawatan" ucap suster yang membuat Tim mengusap wajahnya kasar.

"Papa adek mana?" pertanyaan anak sulungnya hanya mampu ia jawab dengan senyuman.

"Kakak bawa adek adek ke kamar mama dulu ya, biar papa tungguin si kecil" Mark hanya mengangguk.

Tama izin masuk ke dalam setelah memastikan Mark dan saudaranya yang lain sudah masuk ke kamar rawat mamanya. Tama melihat bagaimana bayi kecil mungil iru sangat bersih.

Bahkan anaknya enggan bergerak, Jingga enggan menangis entah mengapa. Tama memang dulunya adalah mahasiswa kedokteran jadi ia sedikit tau mengenai dunia medis. Ia melihat anak bungsunya dipasangkan alat bantu pernafasan, bahkan saat memegang dada anaknya Tama merasa anaknya berat untuk mengambil nafas.

"Jingga Senja Agratama" Tama tersenyum setelah memberi nama anak kesayangannya.

"Anak papa kuat, semoga Jingga jadi anak baik" Tama berucap sambil mengelus dada anaknya pelan. Jingga bahkan hanya menggeliat.

***
Inkubator Jingga dibawa masuk ke ruang perawatan mamanya. Tama memutuskan hal ini agar Tama bisa memantau keadaan anaknya. Semua putranya menengok ke arahnya yang sedang mendorong inkubator diikuti perawat yang membawa selang oksigen.

Bahkan alat EKG dan peralatan medis lainnya Tama bawa ke kamar ini karena Jingga butuh ini. Mark dan si kembar serta Leo menatap bingung ke arah adiknya. Mengapa adiknya memakai banyak kabel dan selang di mulutnya.

"Papa" panggil Mark

"Iya sayang" Tama menyamakan posisinya dengan keenam anaknya.

"Adeknya kenapa pakai kabel, adek mau jadi manusia robot?" tanya Leo. Tama hanya terkekeh lalu membawa mereka berenam ke dekat Jingga.

"Adek beda kak, bang. Adek masih butuh kehangatan di perut mama tapi sayang adeknya udah pengen ketemu Abang sama kakak" mereka berenam mengangguk. Berbeda dengan Nana yang tiba tiba memakai handsanitaizer dan memasukkan tangannya ke dalam inkubator.

"Adek nggak usah takut ya, kak Nana disini sama Adek"

****
Jingga berhasil bertahan hidup. Satu kalimat yang mampu melegakan semua orang termasuk Dira yang dari tadi berhasil tersenyum. Tapi kabar buruknya Jingga koma. 

"Kalian anter pacar kalian pulang dulu, sama ambil baju. Biar Jingga papa sama mama yang jagain" interupsi Tama membuat abang dan kakak Jingga ingin protes.

"Lagian besok kalian kuliah, jadi istirahat dulu aja ya biar adek mama sama papa yang jagain" ucap Dira menambahi sambil tersenyum.

"Tapi ma-"ucapan Nana terpotong.

"Pacar kalian semua perempuan nggak baik di luar malem malem, ayo gih anterin." Ucap Dira diangguki keenam putranya. Dira menunduk setelah melihat keenam putranya pergi dari hadapannya. Tama yang melihat bahu bergetar istrinya mengusap bahunya pelan.

"Udah yuk, Adek udah kangen mamanya pasti" ucap Tama menenangkan. Tama menuntun istrinya masuk ke kamar rawat putra bungsunya. Dira menutup mulutnya ketika melihat mulut anaknya tersumpal oleh selang ventilator. 

Jingga kondisinya bisa dikatakan parah, tulang ekornya sudah rusak dan kepalanya terbentur keras. Dira berjalan mendekat ke arah anaknya. Ia dapat melihat mulut kecil itu tersumpal selang yang mungkin sangat menyakitkan. Mata Jingga terbuka sedikit memperlihatkan mata putihnya, mungkin karena selang ventilator tersebut terlalu dipaksa masuk. Tama yang menyadari hal itu menutup mata Jingga perlahan.

"Adek, papa izinin adek istirahat. Tapi inget jangan lama lama ya" Tama menutup mata anaknya sambil menahan tangisnya. Jingga pasti sangat kesakitan. Dari ketujuh putranya hanya Jingga yang tidak betah sakit.

"Anak mama ini ganteng banget, Jingga kenapa nyelametin mama papa. Kenapa Jingga korbanin diri Jingga sendiri? Mama udah pernah bilang sama Jingga, Jingga boleh baik ke siapapun, tapi jangan sampai merugikan diri Jingga sendiri" Dira menangis keras, hatinya tidak kuat untuk melihat Jingga seperti ini.

***

Keesokan harinya, keenam abang Jingga berkunjung ke ruang rawat adik bungsunya. Haikal dari tadi terlihat murung padahal biasanya dia yang paling semangat. Mark semakin gila kerja, Nana hanya diam sedari tadi sambil meneteskan air matanya. Juna, Leo dan Jeno hanya bisa berpura pura tegar.

Nana membuka ruang rawat adeknya pelan. Air matanya langsung meluruh melihat tubuh putih bersih jingga terekspos. Menampilkan dada yang bergerak naik turun pelan.

"Jiji hiks, Ji kenapa harus kayak gini lagi. Kak Na udah bilang jangan pernah mengorbankan diri Jiji sendiri demi orang lain" Nana menangis sambil menggenggam tangan adiknya.

"Adeknya bang Haikal pules banget sih, nakal ya sekarang. Inget nggak Ji, waktu kamu jatuh dari sepeda kamu nangis keras banget. Dan waktu itu kaki Jiji keluar darah. Jiji cuma bisa nangis Sampek demam dan dibawa ke RS. Sejak itu kita berenam bertekad jagain Jiji lebih dari apapun. Tapi semakin Jiji besar Jiji semakin baik, ngebantu semua orang walaupun orang itu jahat" Haikal meluruh sambil memeluk kedua lututnya. Juna, Jeno dan Leo sudah tidak kuat untuk menahan tangisnya. Adik kesayangannya harus menanggung semua beban ini.

A/n
Haloo guys selamat membaca
Maaf kalau nggak nge feel
Jangan lupa untuk vote dan commentnya ya

HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang