TYA 7

40.3K 3.6K 97
                                    

Thank You, Arta!
Part 07
-
-
-
Happy reading!

Arta mendekat, menata rambut Feerly. "Siapa tadi?"

Feerly menatap manik suaminya. "Papahnya Fenisa, kak."

Arta hanya terdiam. Dia menatap gadis di depannya. "Pulang naik apa?"

"Mungkin jalan dulu sampe mini market di depan sana terus baru naik angkot."

Tangan Arta tak berhenti mengelus rambut itu, membuat jantung Feerly berdetak lebih kencang.

Arta tak menjawab, dia langsung menarik tangan Feerly dan memutarnya. Membuat Feerly berada didekapannya dengan Arta yang memeluk tubuh itu dari belakang dan meletakkan kepalanya di pundak istrinya.

"Kak."

Arta mencium pipi itu. "Lepas ih, masih di sekolah juga," titih Feerly mencoba melepaskan pelukan itu.

"Gue nyaman."

"Jangan pergi ya."

Feerly menghela nafas. Dia mengelus tangan Arta yang melingkar dipinggangnya. "Iya, kak."

"Kenapa keluarnya telat?"

Arta tak memindahkan kepalanya,  bahkan sekarang dia memejamkan matanya dan menggenggam tangan Feerly.

Pria itu merasa nyaman, dia tak pernah merasakan seperti ini saat bersama kekasihnya. Dia selalu merasa diistimewakan saat berada di samping istrinya. Walaupun, belum ada cinta di antara mereka.

"Tadi di suruh Bu Ani."

Feerly mengangguk. "Lepas ya, kakak pulang sana."

Arta melepaskan pelukannya, menarik tangan Feerly untuk menghadap ke arahnya. "Nanti malam ya, gue mau lo masakin yang enak."

Bibir Feerly terangkat, memberikan senyum manisnya dan mengangguk pelan.

Arta menepis jarak mereka, memegang pipi istrinya dan langsung mencium bibir kecil itu. Arta membawa ciuman semakin dalam, membuat Feerly membalas perbuatannya.

Arta tak memperdulikan dimana mereka sekarang, toh sekolah dan pos satpam ini sepi. Mungkin hanya beberapa siswa saja dan jika mereka terciduk pun, perduli apa Arta tentang itu semua.

"Bagi-bagi dong."

Ucapan itu membuat Arta berhenti melumat bibir itu namun tak melepaskannya. Arta melirik siapa yang mengganggunya ini. Feerly mencoba mendorong tubuh Arta agar melepaskan ciumannya, tapi nihil.

"Ternyata lo gercep juga ya, baru kemarin udah ngerasain bibirnya," cibir Juna yang mendapatkan tatapan tajam dari Arta.

Dino hanya tersenyum melihat keduanya, Andra dan Arya hanya diam. Mereka tak habis pikir dengan temannya ini, bisa-bisanya melakukan itu di sini.

Arta melepaskan bibirnya membuat Feerly langsung menunduk malu. Pria itu tersenyum tipis dan mengelap bibir mungil itu kemudian menarik Feerly agar bersembunyi dibalik pelukannya. Arta paham bahwa gadis itu sangat malu dan wajahnya sudah seperti udang rebus.

Gadis itu memeluk tubuh Arta, menyembunyikan wajahnya. "Ganggu aja lo!"

"Lo nya aja yang enggak tau tempat!" timpal Dino.

Andra tersenyum remeh. "Baru kali ini ada cewe yang menggeser posisi Sabrina di hati lo."

"Banyak omong lo!"

Setelah mengatakan itu, Arta berjalan menuju parkiran dengan posisi Feerly yang masih memeluk tubuhnya.

Arta sudah didepan motor sportnya. "Masih mau peluk nih?"

"Aku malu ihhh!" ungkap Feerly dengan menghentakkan kakinya.

Arta tertawa kecil dan melepaskan pelukan itu. "Coba mana mukanya saltingnya? Gue mau liat."

"Mana liat." Feerly menatap suaminya saat Arta memegang kedua pipinya.

"Malu kak!"

Pria itu hanya tersenyum. "Gemas banget istri aku kalo lagi salting."

"Kak!"

"Iya-iya, maaf deh."

Arta mengambil helm yang sering Sabrina pakai dan memakainya pada Feerly. Tapi gadis itu menolaknya. "Eh, aku naik angkot aja kak."

"Kakak 'kan sibuk, takut kak Sabrina nya nungguin."

Arta selesai memasangkan helm itu. "Siapa yang bilang gue mau keluar sama dia?"

Feerly langsung menunduk saat Arta menatapnya tajam. "Gue mau pulang sama istri gue ini."

"Terus tidur siang tapi harus di peluk sama lo. Lo mau? Atau keberatan?"

Feerly memberanikan diri menatap suaminya saat pria itu meraih tangannya dan menggenggam tangan itu erat. "Gue kangen, udah beberapa hari gue tidur sendirian dan lo enggak nemenin suami lo dan lebih milih tidur di lantai."

Iya, sudah hampir satu minggu Feerly tidur larut malam dan memilih tidur di lantai saat suaminya sudah tertidur pulas. Dari awal menikah, bukan Feerly yang manja tapi pria tampan itu yang selalu meminta di peluk sepanjang malam.

"Boleh?" tanya Arta memastikan lagi.

Gadis itu mengangguk. "Iya, boleh."

"Yaudah ayo pulang."

Arta memakai helm dan memberikan jaketnya pada Feerly. "Kenapa?"

"Buat nutupin paha lo, gue enggak mau hak gue jadi tatapan buas cowok-cowok di luaran sana."

Setelah mengatakan itu, Arta menaiki motornya. "Naik."

Feerly memegang pundak Arta. "Siap?"

"Bentar kak," jawab Feerly yang masih mencoba menutupi pahanya yang memang terlihat saat menaiki motor itu.

Arta membalikkan badannya. "Bagian tangannya diikat dipinggang lo, biar gampang."

Gadis itu menuruti. "Udah kak."

Arta menjalankan motornya keluar dari sekolah. Dalam perjalanan, Feerly tak berpegangan pada tubuh itu. Dia takut Arta tak menyetujui.

Namun tiba-tiba, Arta menarik tangan Feerly. Melingkarkan tangan Feerly dipinggangnya dan mengelus punggung tangan itu.

Feerly yang terkejut, dia berusaha menetralkan detak jantungnya. "Sandarin aja, gue tau lo nyaman."

Dengan ragu, Feerly menyandarkan kepalanya di bahu Arta membuat pria itu tersenyum.

"Kak?"

"Hem."

"Kenapa kakak gini sama aku? Enggak pernah boleh aku berpenampilan terbuka apalagi kalo ada yang nyentuh aku?"

Arta tersenyum. Dia dapat mendengar jelas apa yang gadis itu ucapkan.

"Sayangnya Arta."

"Kan lo hak gue, lo milik gue dan gue suami lo. Kenapa enggak suka sama posesif gue ke lo?"

"Bukan kak. Aku seneng kok, bahkan bahagia. Itu berarti kakak perduli sama aku, mau jaga aku walaupun belum cinta sama aku."

"Tapi, kak."

"Hem?"

"Kakak enggak gitu 'kan sama kak Sabrina? Penampilannya terbuka, tapi kakak suka? Atau karena kak Sabrina lebih berisi dari pada aku?"

Arta tertawa mendengar itu. "Kak!"

"Enggak, sayang. Bukan gitu. Tubuh lo bagus, gue suka. Maka dari itu, gue aja belum pernah liat bahkan nyoba. Masa gue biarin buaya lain kegoda."

Feerly mengendus kesal. Bukan itu jawaban yang dia inginkan. Walaupun dia sedikit terkejut dengan jawaban tersebut.

"Jangan manyun gitu."

"Jawabannya, gue cuma mau jaga apa yang udah jadi milik gue. Secinta apapun gue ke Sabrina dia bukan milik gue. Lo yang milik gue, istri gue. Mangkanya gue bersikap seperti itu sama lo. Paham?"

Senyum Feerly berkembang, dia mengangguk senang. "Nyaman ya?" 

-
-
-
-
TBC!

Thank You, Arta! || ENDWo Geschichten leben. Entdecke jetzt