BAB 19 | Late

91 26 7
                                    

Bab 19. Late

^^^

"Ketika Allah sudah sangat bermurah hati memberikan apa yang kita mau, tapi setelahnya kita justru selalu meminta lebih. Saat itu juga, kita sudah menjadi manusia yang tamak. Maka, hanya satu yang dapat kita lakukan; mengubah ketamakan itu dengan rasa syukur."

^^^

[Bahtiar Ar Raid]

Kabar perjodohan itu datang pada saya, seminggu sebelum acara kelulusan para santri. Abi sendiri yang menyampaikan keinginannya. Keinginannya untuk menjodohkan saya dengan putri bungsu dari Kiai Lukman—pendiri Pondok Pesantren Al-Ma'arif. Setelah hari itu, malam-malam yang terjadi setelahnya adalah malam penuh kebimbangan untuk saya. Semalaman penuh juga, saya terus duduk di atas sajadah. Salah satu hal yang saya bisa lakukan saat itu hanya berdialog dengan Allah, menumpahkan semua kebimbangan yang saya rasakan.

Permintaan Abi tidak pernah bisa saya tolak. Abi adalah ulil amri yang memiliki peran penting bagi umat. Semua keputusannya selalu menjadi pertimbangan paling kuat bagi kami. Semua orang selalu menghormati Abi, begitu pun saya—anaknya. Permintaannya saat itu pasti bukan serta merta hanya sebatas menginginkan saya menikah di umur yang sudah cukup matang, lebih dari itu pasti Abi sudah memikirkan segala berkah dan mudarat yang akan didapatkan dari keputusannya. Logika saya terus mencoba untuk menerima, tapi ternyata hati saya tidak.

Hal itu datang sepaket dengan keresahan saya yang lain. Hari-hari saya semakin gundah, ketika hari kelulusan semakin dekat. Karena itu artinya, saya tidak lagi dapat melihat gadis yang akhir-akhir ini selalu masuk ke dalam pikiran saya—meski saya tidak pernah memintanya.

"Dadah, Culametan!"

Bahkan, saya suka sekali memperhatikannya dari jauh. Melihat dia yang berlari menuruni tangga, berlomba dengan kawannya yang bernama Meda untuk segera sampai ke kamar mandi umum para santriwati. Hal itu saya tahu dari peralatan mandi yang dia tenteng dan handuk yang mengalung di lehernya. Tawanya berderai kala dapat memimpin langkah, satu tangan yang tidak memegang peralatan mandi dia gunakan untuk menaikkan sedikit roknya. Ujung kerudungnya yang saat itu berwarna jingga muda bergoyang saat gadis itu berlari.

"Lalaaa ... aku dulu! Awas ya kamu nyerobot antrianku!"

Dan tawanya semakin berderai renyah. Saya menyukainya.

Atau, saat dia selalu melakukan hal-hal ceroboh, saya mengingat setiap kejadiannya dengan baik. Yang paling konyol, saat insiden kepalanya terantuk pintu kamar—waktu itu dia mendapat hukuman bersih-bersih di ndalem karena melanggar peraturan—dan alhasil dahinya benjol. Saya bahkan masih ingat bagaimana ekspresinya ketika bercermin, raut kaget bercampur wajah yang merah karena malu.

Saya ulang lagi, seceroboh apa pun dia, saya tetap suka.

Tapi ... bagaimana dengan permintaan Abi? Itu yang saat ini menjadi masalah penting untuk saya. Jika saya tidak menyukai gadis lain, pasti saya bisa menerima dengan mudah permintaan Abi. Namun situasinya kini, saya memiliki perempuan lain yang saya pilih. Dan rasa suka itu tidak bisa saya arahkan akan jatuh ke siapa. Rasa suka saya murni datang dari hati saya sendiri tanpa dikomando.

Jawaban pada Abi belum saya berikan bahkan hingga hari kelulusan tiba. Hari di mana mungkin akan menjadi kesempatan terakhir saya untuk bertemu dengan gadis yang saya suka. Hari itu pula, Kiai Lukman berkunjung bersama Khalisa—putri bungsunya yang akan dijodohkan dengan saya. Beliau hadir memenuhi undangan Pesantren. Apakah wajah Khalisa cantik? Tentu. Apa lagi dengan wajah khas Arabnya. Tapi jauh dari itu, secara tidak sadar hati saya pun berkata, "Gadis yang saya suka juga memiliki wajah yang tidak kalah cantik."

VerledenWhere stories live. Discover now