Bagian Tujuh

173 41 1
                                    

"Kamu bawa bekal, Langit?" tanya Jingga.

Langit mengangguk sembari memasukkan alat tulisnya di dalam tas. "Kalau begitu aku tidak jadi istirahat di kantin bersama anak-anak cewek," ucap Jingga.

"Kamu bisa istirahat dengan mereka kalau kamu mau. Aku tidak pernah memaksa kamu untuk terus di sisiku."

"Aku udah bosen sama makanan kantin! Aku mau bekal kamu saja, makan Bunda kamu enak banget, udah gitu setiap hari ganti menu."

Sudah beberapa Minggu Jingga tidak pernah beristirahat bersama Langit. Ia menghabiskan waktu istirahatnya bersama cewek-cewek di kelasnya yang hobinya menggosipkan cowok-cowok ganteng di sekolah. Namun, di setiap pembahasan cowok ganteng nama Langit tidak pernah terselip. Bahkan waktu itu ia juga bertanya tapi jawabannya sangat membingungkan.

"Kalian selalu membahas cowok ganteng, tapi kenapa Langit tidak pernah kalian bahas? Langit juga ganteng kok."

Cewek berambut sebahu dan berponi menjawabnya, "Percuma ganteng kalau aneh."

"Iya, percuma ganteng kalau badan lemah," timpal cewek bertubuh gempal.

"Iya, dia juga letoy." Cewek bertahi lalat di hidung ikut menyahut.

Sungguh Jingga tidak mengerti kenapa mereka malah menghina Langit. Ia tahu kalau Langit itu tidak menyukai olahraga tidak seperti cowok-cowok lainnya, tapi Langit menurutnya tidak lemah. Aneh? Baginya Langit tidak aneh cowok itu hanya seorang introvert. Lagi pula Jingga tahu di setiap kelebihan pasti ada kekurangan. Seperti halnya Langit, cowok itu tampan tapi cowok itu tidak jago basket, futsal, dan bela diri.

"Kamu kenapa melamun?" tanya Langit berhasil menyentak Jingga dari lamunannya.

"Hanya memikirkanmu," balas Jingga.

Langit menggusap lehernya dan berdehem. "Aku duluan," ucapnya.

"Duluan-duluan! Kita istirahat bareng-bareng!" Jingga menyusul Langit dan merampas paper bag di tangan Langit kemudian menarik ujung lengan seragam Langit.

Sampai di tangga perpustakaan mereka duduk di anak tangga bersebelahan. Tanpa berlama-lama Jingga membuka kotak bekal Langit, harum tumis kangkung dan bakwan jagung membuat cacing di perut Jingga meronta-ronta. Lauknya memang sederhana, tapi masakan seorang ibu akan menambah kenikmatannya.

"Terima kasih, Langit, untuk makanannya."

Kedua sudut bibir Langit tertarik ke atas. Melihat Jingga yang lahap menyantap bekalnya membuat langit senang. Setiap gadis itu beristirahat bersama maka Jingga akan merampas bekalnya.

Jingga menyerahkan satu sendok lagi untuk Langit. Semenjak bundanya Langit mengetahui dirinya teman dekat Langit dan sering memakan bekal cowok itu Bunda Langit menambah porsi bekal Langit dan selalu menyediakan dua sendok.

Awal Jingga bertemu pada Bunda Langit waktu cowok itu tidak ingin menemui Bundanya gara-gara wajahnya yang lebam. Kini sepertinya Langit tidak menghindari bundanya dan rumahnya.

Mereka makan dalam keheningan. Jingga yang terbiasa mengoceh tapi saat makan gadis itu akan anteng dan diam. Langit berhenti makan dirasa perutnya sudah kenyang. Ia menepuk pelan kepala Jingga. "Makan yang banyak Jingga biar cepat besar."

Jingga tersedak, buru-buru Langit mengambil botol minumnya dan memberikannya pada Jingga. Muka Jingga sampai merah akibat batuk-batuk. Jingga merasa lega usai menenguk air.

"Langit ...."

"Iya." Langit mengeringkan wajahnya agar lebih leluasa melihat wajah Jingga.

Jingga tersenyum kemudian menggeleng. "Jangan seperti itu lagi, Langit," ucapnya.

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Where stories live. Discover now