Chapter 7

298 51 3
                                    

Kekasih Hati

***

Seorang pria berbadan kekar itu sedang menatap sebuah lukisan. Katanya, dari kerajaan tetangga. Paras cantik itu menarik hatinya dan ingin menikahinya. Terlebih, gadis itu juga seorang keluarga kerajaan yang mana, mereka memiliki derajat yang sama. Gadis berumur tujuh belas tahun itu sudah memikat hatinya sejak awal.

"Siapakah wanita ini?" tanyanya pada para bawahannya.

Seorang Patih menjawab, "Ia, Putri Prabu Lingga Buana, namanya Dyah Pitaloka Citraresmi."

Pria muda itu tersenyum, "Cantik sekali. Aku menyukainya. Bisakah aku melamarnya?"

Patih itu mengangguk, "Tentu saja, gadis itu sangat cocok dengan Baginda."

"Baiklah, Patih Madu, sampaikan lamaranku pada Putri Citraresmi," perintahnya.

Patih Madu membungkuk pertanda hormat. "Laksanakan, Baginda Prabu Hayam Wuruk."

Hayam Wuruk tersenyum senang, "Aku percaya padamu."

Setelah menyampaikan maksudnya, Hayam Wuruk membawa lukisan itu dari singgasana menuju ke kamarnya. Sepanjang jalan pun ia menebar senyumannya kepada para prajurit dan dayang yang menyapanya. Rasanya senang sekali.

***

Citraresmi.

"Nama yang indah, seindah parasnya. Bisakah aku memelukmu dan bukan lukisanmu saja?" gumam Hayam Wuruk sambil memandang lukisan Dyah Pitaloka.

Tok, tok, tok.

"Baginda, sudah waktunya makan malam," ucap seorang dayang.

"Aku Akan segera ke ruang makan,"

Hayam Wuruk berjalan keluar dari kamarnya. Beberapa prajurit yang berjaga itu mengikutinya mengawal sampai ruang makan. Hari ini, mood-nya sangat bagus. Ia juga tak sabar menerima jawaban dari gadis itu.

"Selamat malam, Ibunda," sapa Hayam Wuruk saat berpapasan dengan ibunya.

"Oh, ayo kita makan malam bersama," ajaknya.

Mereka pun berjalan menuju ruang makan secara berdampingan. Aura yang biasa tegas itu, kini sedikit melunak di pandangan orang-orang. Termasuk ibunya sendiri.

Makanan disajikan di atas meja. Keduanya mengambil kursi masing-masing sesuai dengan kedudukannya. Kini, ruang makan hanya diisi oleh dua orang tuanya, ayahnya, Kertawardhana Bhre Tumapel dan ibunya, Tribhuwana Wijayatunggadewi.

"Bagaimana, Anakku?" tanya ibunya.

"Aku mengutus Patih Madu untuk menyampaikan lamaranku pada Putri Citraresmi," jawab Hayam Wuruk.

"Kau ada maksud apa?"

"Apakah aku harus menikah berdasarkan politik antara kerajaanku dengan kerajaannya?"

"Bukan itu..., maksud Ibunda, apakah kau benar-benar menyukainya? Bukan karena kau ingin kerajaan itu menjadi bagian dari Majapahit?"

Hayam Wuruk menggeleng tegas, "Tidak, Ibunda. Aku benar-benar ingin menjadikannya istri, bukan alat untuk menundukkan Kerajaan Sunda menjadi bagian kerajaanku."

Ibunya tersenyum, "Syukurlah. Ibunda takut jika ini akan merusak hubungan antara kedua kerajaan besar."

"Ya, Anakku. Kau harus lebih bijaksana dalam memilih pasangan hidup. Terlebih istrimu akan menjadi seorang permaisuri juga," saran ayahnya.

Hayam Wuruk mengangguk, "Baik, Ayahanda, Ibunda."

***

Lima hari berlalu, tapi Patih Madu belum memberikan kabarnya pada Hayam Wuruk. Ia sudah menunggunya sejak berhari-hari yang lalu. Apakah gadis itu akan menerimanya atau tidak. Ia sangat gelisah menunggu kabar ia diterima atau ditolak, karena harapan satu-satunya sekarang adalah gadis itu.

Change The History [Revision] ✅Donde viven las historias. Descúbrelo ahora