Pemilu di Musim Gugur Ini

144 18 26
                                    

Dalam perjalanan pulang sekolah, aku berhenti sejenak di pertigaan jalan. Selebaran yang tertempel di tembok pagar rumah warga menarik perhatianku.

Daftar Kandidat Kepala Desa Bora Periode 2021-2026
1. Dr. Kim Namjoon
2. Jeon Jungkook, S.Sos
3. Park Jimin

Calon pertama jelas kuat. Dr. Kim adalah orang paling pintar di desa. Calon nomor dua bisa diperhitungkan—dia ayahku. Aku pesimis dengan calon ketiga, kandidat termuda lulusan SMA, populer di desa hanya karena pesonanya. Bukan orang kompeten, tapi tidak bisa dianggap remeh karena penggemarnya cukup fanatik.

Dua menit waktu percuma kuhabiskan menyimak isi kertas itu. Lalu kulanjutkan langkah ini lagi. Baru beberapa puluh meter, kulihat kerumunan ramai di depan rumah Dr. Kim. Bukan pasukan kampanye, tetapi polisi serta sekelompok tim medis. Penasaran, aku segera mendekat namun seorang polisi menghadang. "Dilarang mendekat!"

Lantas aku berlari menuju rumah. Ayah pasti tahu apa yang terjadi.

"Ayah! Ayah!" teriakku heboh.

Ayah dan ibu menatapku tegang di ruang tamu.

"Apa yang terjadi di rumah Dr. Kim? Kau pasti tahu," kataku.

Ibu pergi meninggalkan aku dan ayah. Raut ayah terlihat cemas. Sementara aku kian tidak sabar mengakhiri rasa penasaran.

"Dr. Kim tewas ... terbunuh."

"Apa?!" Aku terkejut bukan main.

Ayah mengedikkan bahu.

Kecemasanku muncul, apakah ini terkait dengan pelaksanaan pemilihan kepala desa? Jika itu benar, aku jadi mengkhawatirkan ayah.

"Sebaiknya Ayah lebih waspada. Aku takut seseorang mengincarmu juga."

"Jangan cemas. Aku akan baik-baik saja."

Esoknya kami melayat ke rumah duka. Suasana terasa muram diwarnai berbagai tangisan.

"Kami turut berduka," kata Ayah pada Kim Taehyung—putra mendiang dan sang istri yang tampak pucat.

Kemudian kami duduk untuk menyantap jamuan. Sejujurnya aku tidak berselera makan dikala seperti sekarang. Ditambah dengan kehadiran satu kandidat lain.

"Pak Jeon, saingan kita jadi berkurang. Tinggal kau dan aku. Bukankah seharusnya kau turut senang?" ucap Park Jimin seraya menyeringai.

Ayah menatap datar tanpa ekspresi. "Tidak pantas kau berkata seperti itu setelah rivalmu mati mengenaskan. Bisa saja di antara kita juga terancam."

Benakku tiba-tiba berpikir, apakah ia ... yang menyingkirkan Dr. Kim? Motifnya jelas, Park Jimin cuma pria populer, tidak kompeten—menurut pandanganku. Jadi, menyingkirkan lawan terkuat yang jelas-jelas orang berpendidikan tinggi, dihormati dan disegani sudah pasti mengurangi beban.

Empat hari kemudian, sepulang sekolah aku kembali melihat keramaian. Kali ini di depan kediaman Park Jimin. Pasukan polisi lengkap dengan anjing galak mengepung rumah. Aku segera mengambil posisi untuk mengetahui apa yang terjadi. Semoga sesuai ekspektasi.

"Lepaskan! Aku tidak bersalah! Bukan aku pelakunya!" jerit Park Jimin berontak-ontak saat dibawa ke mobil tahanan dengan borgol di tangan.

Kudengar bisik-bisik para orang tua di depan, "Katanya dia yang meracuni Dr. Kim hingga tewas."

"Sungguh memalukan! Padahal aku hendak memilih dia saat pemilihan nanti."

Aku segera pulang, saat tiba kulihat pintu ruang kerja ayah sedikit terbuka. Tidak kubuka lebih lebar karena kudengar ayah sedang menelepon dengan suara tawa terbahak-bahak.

"Bagus! Buat seolah-olah Park Jimin-lah pelakunya. Dengan begitu, aku bisa meraih jabatan ini dengan mudah hahaha!"[]

THE CANDIDATES | knj-pjm-jjk ✓Where stories live. Discover now