BAB 35

93.1K 3K 321
                                    

Haloooo.... Sorry ya telat kali ini updatenya. Setelah cerita ini memasuki kalimat "The End", jangan mengharapkan epilog ataupun extra partnya. Selamat membaca.

**********

Hujan masih turun rintik-rintik. Aku menyaksikannya dengan perasaan hampa saat tak mampu melenyapkan "dia" sepenuhnya dari hari-hariku. Ini bukan sekedar bagaimana aku bertahan menyembuhkan luka. Juga bukan bagaimana tentang memaafkan. Bukan tentang hidup. Dan juga tentang kematian. Ini tentang bagaimana aku mengikhlaskan. Ikhlas yang sungguh benar-benar ikhlas saat harus kehilangan sesuatu yang teramat sangat berharga dalam tiga puluh tahun hidupku.

Fetus. Begitu aku menyebutnya. Segumpal darah yang tumbuh di dalam rahim dan kurawat sepenuh hati. Aku masih ingat betul bagaimana euforia kebahagiaan itu menghangatkan hatiku sepanjang perjalanan pulang. Bersama selembar kertas keterangan dari dokter di tanganku yang menyatakan kalau aku tengah mengandung buah cintaku dengannya, senyum merekah tak henti-hentinya menghiasi sudut bibirku.

Ku biarkan orang-orang menatapku aneh. Tak kupedulikan sorot-sorot memandangku penuh tanda tanya. Yang kuinginkan saat itu, aku lekas sampai rumah. Membagi kabar bahagia tersebut pada satu-satunya pria yang sudah berhasil mencuri segenap jiwa dan hatiku. Sudah banyak sekali rencana-rencana indah yang tersusun rapi di dalam kepala. Tentang menu apa yang ingin kuciptakan untuk makan malam spesial kami. Tentang bagaimana caranya menyampaikan eksistensi fetus yang sebentar lagi akan memenuhi rahimku. Dadaku membuncah. Rasa-rasanya kebahagian itu bagaikan luapan air sungai yang tak terbendung kala musim penghujan tiba.

Aku terlalu banyak menyemai harapan. Sehingga ketika mencecap takdir paling pahit langsung kumuntahkan. Tak mampu menelannya sedikit demi sedikit seperti cairan empedu yang berhasil melewati rongga tenggorokan. Tapi, ya sudahlah! Aku ingin menimbun semua kejadian buruk itu. Memulai semuanya dari awal sebagai cara untuk menyembuhkan luka. Aku tak ingin terpuruk semakin dalam dan menghukum orang-orang di sekelilingku dengan aksi bungkamku. Aku sudah memutuskan. Akan berdamai dengan keadaan.

Aku tengah menikmati secangkir espresso yang masih mengepulkan asap. Sesekali, aku meniup uap tersebut untuk menghilangkan suhu panasnya. Percampuran rasa pahit dan manis yang menyentuh lidahku, mengingatkanku kembali pada ciuman kami di malam itu. Malam yang hanya dipenuhi oleh suara partikel-partikel air yang menetes layaknya ujung paku yang menghantam atap asbes. Satu tanganku terangkat. Menyentuh bibirku untuk mengulik jejak-jejak kecupannya yang masih tertinggal. Tak bisa dipungkiri. Sejauh apapun aku ingin berlari dari kenyataan, perasaanku tak mampu disurukkan di bawah kaki-kaki langit saat gradasi warna bergerak menuju titik jingga.

Aku mencintainya. Masih menginginkannya melebihi sebagian lagi rasaku yang tak menginginkan kembali merajut kisah-kisah yang belum usai diantara kami. Karena aku sadar betul bahwa hakikat hidup bukan hanya sekadar tentang kecewa dan membenci. Tetapi juga tentang memaafkan dan mengikhlaskan. Hanya saja, saat kenangan-kenangan buruk itu kembali bergulir di kepala, aku belum bisa bertransformasi menjadi malaikat tanpa sayap yang memiliki sejuta kebaikan untuk mudah memafkan kesalahan seseorang.

Aku bukan malaikat.

*******

Yang kulihat di kiri dan kananku hanya deretan pintu-pintu yang dipelitur halus. Temboknya berwarna pastel. Sedang lantai yang kupijak berwarna serupa dengan dindingnya. Sekali lagi kucermati selembar kartu nama yang diselipkan ke dalam surat yang dikirim oleh seseorang kemarin siang. Ada keraguan yang menderaku sebelum mengambil keputusan ini. Antara menyetujui permintaannya atau menolaknya saja tanpa harus berpikir dua kali. Tapi ucapan Ave berhasil melunakkan sikap keras kepalaku.

Unforgettable MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang