BAB 4

68.3K 2.8K 100
                                    

# Maaf kalau banyak typo, soalnya tanpa diedit sebelum dishare karena mata keburu ngantuk*curcol#

***

Yang ku lakukan hanyalah membolak-balikkan badan tanpa bisa mengatupkan mata. Malam semakin larut, tapi tidak sekalipun membuatku merasakan kantuk. Seperti tombol replay, memoriku berulang kali memutar percakapan dengan dokter Andrian tentang fakta baru yang sebenarnya masih sulit untuk dipercaya. Bukannya aku meragukan kredibilitas si dokter berparas oriental itu, hanya saja...apa ya? Ini benar-benar sebuah keajaiban yang datangnya tidak terduga.

"Tidak ada miom. Tidak ada mandul. Dan artinya, kapan saja anda bisa hamil."

Kalimat itu terus-terusan terngiang di kepala.

Ku sibak selimut, lalu turun dari ranjang dengan setengah terhuyung. Langkahku berjalan mendekati kaca besar yang tergantung di sisi kanan meja rias. Butuh waktu sedikit lama untuk mengamati sosokku sendiri dari balik cermin. Seorang wanita berperawakan mungil sedang berdiri di sana dengan tampang kusutnya. Tinggiku memang tidak bisa disepadankan dengan Ave yang berkisar diangka 168 cm. Tipikal body model kelas kakap juga sangat jauh dari pendeskripsianku. Meski tidak sedikit yang mengatakan kalau aku kelihatan awet muda dipenghujung umur dua puluhan, tetap saja kans-ku untuk mengalahkan Liana tidak terbuka lebar. Aduh! Dan kenapa lagi-lagi aku harus membandingkan diri dengan janda Banyu itu sih? Mau bagaimanapun, kesempatanku untuk berada satu langkah di depannya hanyalah mimpi belaka. Memenangkan hati Banyu dari Liana, seperti halnya berharap memeluk bulan di angkasa. Sangat...sangat mustahil.

Tanganku terarah ke perut, lalu merabanya dengan pelan. Muncul sebuah pemikiran, akankah di dalam sana nantinya bisa tumbuh seorang bayi yang selama ini sangat ku idamkan? Lalu, apakah bayi itu berasal dari benih Banyu Biru? Aku meringis, mencoba membuang jauh-jauh impian berwujud semu yang tidak akan pernah bisa menjadi kenyataan. Dengan dalih apapun, sudah ku tegaskan secara lugas dihadapan Banyu bahwa aku tidak bisa membantunya. Biarkanlah untuk kali ini saja aku bersikap egois. Bertahun-tahun memendam rasa cinta dan sakit dalam waktu bersamaan, itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilupakan. Dan entah mengapa, dihari semenjak Banyu meluluhlantakkan hatiku karena Liana, membuatku sulit untuk mengubah sebuah mindset yang sudah terlanjur tertanam di otak, bahwa selamanya peranku hanyalah sebagai si pengganti.

Aku masih ingat dihari sebelum Banyu menyatakan perasaannya pada Liana, dia mendatangiku yang sedang menikmati semilir angin siang di taman belakang kampus. Dia menuntutku menjadi seorang pendengar yang baik ketika hatiku tercabik-cabik oleh setiap ucapannya yang tidak ada hentinya memuja wanita super sempurna itu. Lalu menyuruhku memainkan drama, dimana dia menganggapku sebagai Liana gadungan yang sedang menerima pernyataan cinta darinya. Dan demi apapun, senyum kamuflase tetap tidak mampu menutupi kepedihanku. Tidak terasa aku menitikkan airmata, menangisi kembali masa-masa suram itu dalam kesendirian ini. Sebenarnya aku bukan wanita cengeng. Aku si tahan banting yang pantang mengeluarkan airmata. Hanya saja, ketika semua hal yang berkaitan dengan Banyu keluar dari kotak memori yang sudah ku kubur dalam-dalam, sendu itu kembali menggrogoti perasaanku. Sisi masokis dalam diriku bangun dari tidur panjangnya.

***

"Kamu yakin mau datang sendirian?"

"Tenang saja Ave, aku nggak bakalan pingsan di atas pelaminan dan mengacaukan pestanya Reza kok."

"Kalau itu sih aku percaya. Tapi yang aku khawatirkan justru keberadaan si nyonya besar bin songong itu. Bagaimana kalau tiba-tiba saja dia menerkammu?" Ave masih tidak henti-hentinya menyampaikan segala bentuk kekhawatiran tentang keputusan finalku untuk datang ke acara resepsi pernikahan Reza tanpa dirinya malam ini.

"Ku rasa ibunya Reza akan berpikir ribuan kali sebelum melakukannya. Tidak mungkin beliau mempermalukan diri sendiri di hadapan banyak orang. Kamu terlalu banyak dicekoki sinetron sih, jadinya pikirannya adegan drama melulu," dibarengi kekehan ringan argumentasiku.

Unforgettable MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang