Bab 27

12.2K 1.7K 146
                                    

Yudis tersedak irisan labu siam begitu mendengar ucapan Nola. Ia terbatuk keras, tangannya terulur mencari gelas air yang segera disodorkan oleh Kinan.

"Nola sih, Papa jadi keselek tuh."

"Kenapa, Tante?"

"Ya kagetlah, Sayang. Masa Papa disuruh pacaran sama Tante. Pacar itu kan nantinya bakal menikah." Kinan masih ingat bagaimana Yudis menolak menunggunya tumbuh dewasa. Pemikiran lelaki itu pasti masih sama sampai sekarang.

"Habisnya.... daripada Papa nggak punya pacar?" sahut Nola polos.

Yudis berdeham. "Kak, nggak semua orang itu harus pacaran sebelum menikah. Dulu Papa dan Mama juga nggak pacaran."

Kepala Kinan seketika menoleh, tatapannya beralih dari wajah Nola ke wajah Yudistira. Pria ini hanya cinta monyetnya, tetapi mengapa hati Kinan masih bisa merasa jengah ketika Yudis membicarakan mendiang istrinya? Dan fakta bahwa Yudis bisa menikahi Syifa tanpa melalui masa pacaran, seakan kembali menggoreskan kecewa di hati Kinan. Rasa kecewa yang sama seperti ketika Yudis menolaknya dulu.

Kinan mengakhiri kontak matanya dengan Yudis. Ia kembali menunduk, menekuri piringnya, berusaha menghabiskan sarapannya dengan cepat sembari menepis perasaan aneh yang muncul di sudut hati. Syukurlah, suara klakson motor di depan rumah segera mengalihkan perhatian. 

"Itu pasti Albi," ujarnya. Kinan meneguk air putih, mengelap mulut dengan tisu, lalu meraih tas dan tongkatnya.

"Nggak usah kesusu, Kin. Pakai maskermu dulu." Yudis mengingatkan, sedikit kesal. (Kesusu = buru-buru)

Kinan menanggapi dengan anggukan tetapi ia memasang masker dengan patuh, kemudian meninggalkan meja makan dan menuju ke pintu depan. Selama kakinya cedera, Yudis melarang Kinan mencuci piring. Jadi nanti Ratih yang akan mengerjakannya.

Kinan membuka pintu. Benar dugaannya, Albi sudah berdiri di depan pagar. Begitu melihatnya, pemuda itu langsung mengacungkan sebuah helm berwarna mocca. Helm yang ia bawa untuk Kinan.

"Kinan berangkat, Mas," ucap Kinan sedikit keras.

Yudis menyusul berdiri dan menuju pintu depan. Kinan masih menunggu di depan pintu, sementara Albi membuka pagar dan mulai memasuki halaman sempit depan rumah. Kinan berbalik dan mengulurkan tangan pada Yudistira. Sudah jadi kebiasaannya untuk salim pada Yudis sebelum berangkat.

"Kamu yakin bisa bawa Kinan pake motor? Kakinya Kinan masih sakit itu." Yudis bersiap mencerca Albi. Sudah tahu kaki Kinan sedang cedera, kalau mau jemput seharusnya pakai taksi, dong. Bagaimana kalau Kinan malah celaka?

"Bisa, Mas. Saya bawa motornya hati-hati kok," jawab Albi dari balik masker. Pemuda itu menyahut dengan tenang, meski di dalam hati nyalinya sedikit mengkerut sebab tatapan Yudis begitu tajam menusuk.

Albi membuktikan ucapannya. Dengan penuh kehati-hatian, ia membantu Kinan naik ke boncengan motor. Gadis itu membonceng dengan posisi menyamping. Lalu Kinan memakai helm dan memangku tongkat. Albi naik di jok depan, siap mengemudi. 

Albi membunyikan klakson satu kali sebagai isyarat pamit pada Yudistira. Lengan kanan Kinan otomatis melingkar di perut Albi. Yudis maju selangkah, hendak menegur tetapi motor Albi sudah melaju. Meninggalkan Yudis yang tertegun dengan tangan terkepal di sisi tubuh.

Setelah lima belas menit perjalanan, motor Albi pun memasuki pelataran parkir RCA dan sang empunya pun langsung mematikan mesin. Setelah memasang standar, Albi turun lalu membantu Kinan sampai sang pacar bisa berdiri bertopang pada tongkat.

"Hati-hati," pesannya.

"Iya, bisa kok."

Kinan berjalan menuju pintu masuk. Ia berhenti di depan pintu kaca dan membiarkan Albi membukakan pintu untuknya. Masih ada waktu lima belas menit sebelum Albi harus berangkat lagi. Jadi mereka memilih duduk di kursi yang tersedia di lobi.

Cinta Tak TergantiWhere stories live. Discover now