Bab 36

11.5K 1.9K 139
                                    

Yudis kaget bukan kepalang saat menyingkap tirai gorden dan melihat sebuah mobil berhenti di depan rumahnya dengan Kinanti turun dari dalam kabin penumpang. Yudis bergegas membuka pintu dan keluar ke halaman.

"Kinan?"

"Mas, Kinan boleh masuk?"

Yudis merogoh saku celana dan mengeluarkan anak kunci, lalu membuka gembok. Ia memperhatikan Kinan mengangguk dan melambai kecil pada mobil Mercedes-Benz Raymond yang kemudian berlalu dari depan rumahnya setelah membunyikan klakson satu kali. Sekarang pandangan Yudis kembali tertuju pada Kinanti.

"Ada apa, Kin? Kenapa tiba-tiba ke sini?" Yudis seketika waspada bercampur cemas. Jam kunjungan Kinan sangat tidak lazim.

Ditanya seperti itu, Kinan malah bingung. Tidak mungkin dia berterus-terang dengan berkata bahwa mendadak dirinya dilanda keinginan memeluk Yudis.

"Aku kepikiran Nola. Dia nggak apa-apa kan, Mas? Aku enggak enak karena tadi Nola keliatan kecewa sewaktu kita nggak jadi makan bareng."

Sial. Hanya itu alasan yang bisa dikarang Kinan dalam waktu dua detik.

"Nola nggak apa-apa. Dia sudah tidur."

"Oh, baguslah." Kinan menunduk dan meremas-remas tangannya sendiri.

"Kin? Benar kamu nggak apa-apa?"

Kening Yudis berkerut. Kinan mengangguk.

"Lalu kenapa kamu diantar Raymond? Ini sudah larut malam, Kin. Katamu, kamu tahu batasan. Kenapa pergi dengan cowok sampai semalam ini?"

"Chef Raymond habis nganterin Mbak Reta pulang, lalu ketemu Kinan yang sedang duduk di luar karena nggak bisa tidur. Daripada terus-terusan kepikiran Nola, akhirnya Kinan minta dianterin ke sini aja."

"Sek, sek. Tunggu dulu, kamu nggak bisa tidur tapi malah duduk-duduk di luar? Kamu kok sembrono gitu, Kin." Yudis berkacak pinggang.

"Kan masih di dalam gerbang kos, Mas."

Yudis berdecak kesal, masih tidak setuju dengan tindakan Kinan, tetapi tak ingin marah-marah di tengah malam. Apalagi, menurut firasatnya, ada yang ganjil dengan kehadiran Kinan di rumah di jam segini. Benarkah hanya karena Nola?

Yudis kembali menggembok pintu pagar, lalu berjalan mendahului Kinan ke dalam rumah. Setelah mengunci pintu dan mereka berdua berada di ruang tamu, barulah Yudis bisa mengamati wajah Kinan dengan baik. Air muka Kinan muram. Matanya juga sedikit sembab.

"Kamu tadi nangis, Kin?"

Kinan refleks mengusap matanya. Dia memang sempat menitikkan air mata saat berada di dalam mobil Raymond, tapi tidak sampai menangis menganak sungai.  "Enggak kok, Mas," dusta Kinan.

"Jangan bohong, Kin. Ada apa?"

Kinanti menarik napas panjang dan duduk di sofa.  Kepalanya menunduk dalam. Ia merasa tak perlu menceritakan pada Yudis perihal pertengkarannya dengan Albi. Kinan cukup dewasa untuk mengatasinya sendiri. "Kinan... Kinan cuma kangen Ibu."

Yudis tidak mudah percaya. "Kamu bisa cerita sama aku, kalau ada masalah."

Kinan menggeleng. "Nggak, Mas. Kinan cuma mendadak homesick. Tiba-tiba kangen pengin dipeluk Ibu, kangen sama boneka Doraemon di kamar, kangen dijailin Wisnu." Suara Kinan mulai bergetar. Mengingat perlakuan buruk Albi dan segala kenyamanan di rumah membuat emosinya teraduk-aduk.

"Kin..." Yudis berjongkok di depan Kinan, menangkupkan tangannya di atas tangan Kinan yang terbuka di pangkuan.

"Mungkin karena Kinan sedang datang bulan, jadi tiba-tiba cengeng. Ini cuma hormon cewek." Kinan meremas tangan Yudis dan terisak satu kali.

Cinta Tak TergantiWhere stories live. Discover now