Prolog

470 62 22
                                    

SUARA tepuk tangan memenuhi ruangan. Semua orang berdiri. Termasuk aku. Dalam balutan gaun merah, Eyang Putri meniup lilin di atas kue ulang tahunnya yang berwarna putih dengan banyak garnish edible gold.

Senyuman Eyang merekah sambil melihat semua anggota keluarganya. Saat matanya menatapku, sengaja kutempelkan jari telunjuk dan jempol sehingga membentuk 'love' kecil dan kutunjukkan padanya. Eyang terkekeh lalu kembali menatap anggota keluarga yang lain satu per satu.

Namun, aku sempat memperhatikan Eyang menatap perempuan yang dibawa Pakde Omar dengan lama. Sepertinya karena ini pertama kalinya Pakde membawa seseorang yang berjenis kelamin perempuan ke acara khusus keluarga. Aku juga sempat memperhatikan perempuan itu.

Perempuan yang kelihatannya seusia dengan Mas Awan itu terlihat sangat ayu. Aku bahkan berani menilai dia lebih ayu dibanding Mbak Rara. Padahal malam ini Mbak Rara sudah sengaja pakai gaun cocktail hitam, tetap saja dia jauh dari kata anggun.

Pattisier Eyang mulai memotong kue ulang tahun dan pelayan segera membagikannya di atas meja. Tanpa menunggu aba-aba, segera kuraih sendok. Namun, tangan Mami menyentuh pergelanganku. Saat aku menoleh, Mami hanya menggeleng. Aku menarik napas panjang dan segera meletakkan kembali sendok. Untuk urusan etiket makan, Mami memang yang paling tegas. Aku iri dengan Mbak Rara yang duduk di samping Papi.

Mas Awan yang duduk berseberangan denganku hanya menatapku, membuat aku menunduk tak berani menatapnya. Caranya menatapku tidak jauh berbeda dengan cara Mami menatapku. Aku malah jadi sungkan untuk dekat-dekat dengannya.

Karena sempat menunduk, aku tak memperhatikan bahwa yang lain sudah mulai menyuap kue. Aku segera menyendok ujung kue. Sebenarnya aku ingin menyendok dalam potongan yang besar, tapi Mami pasti akan menatapku lagi. Lebih baik aku ikuti saja aturan table manner ini.

Baru saja suapan pertama aku harus sedikit kecewa. Ternyata jenis kue gluten free yang rasa manisnya pas untuk mereka tapi kurang untukku. Cukup satu suapan, aku segera membersihkan mulutku dengan serbet.

Segera kujauhkan piring cake. Sengaja kusilangkan antara pisau dan garpu. Aku masukkan ujung pisau di salah satu celah garpu. Mami mendelik melihatku melakukan hal itu, tapi aku pura-pura tidak menyadarinya.

***

Kulihat sekeliling. Saat ini semua anggota keluarga Tranggana sudah berpencar. Papi mengobrol dengan Pakde Endras setelah sebelumnya ditolak bicara berdua sama Pakde Omar. Aku menahan tawa melihat Pakde Omar yang kelihatannya tidak mau jauh-jauh dari perempuan yang dikenalkannya sebagai Lyra.

Mami saat ini asyik ngobrol sama Bude-Bude yang lain. Setelah yakin tidak ada yang memperhatikan, aku segera menyumbatkan penyuara telinga ke telinga. Segera kupilih lagu di ponsel. Baru saja hendak kutekan play, sebuah tangan mendarat di pundakku. Saat aku mendongak, Mami menatapku.

Mami sedikit membungkuk, lalu berbisik, "Bukankah sudah Mami bilang, kamu harus bisa bersikap anggun di acara seperti ini. Menempelkan alat ini di telingamu sama saja kamu tidak menghormati eyangmu."

Mami menarik wajahnya. Aku melihat senyum di wajah Mami. Lalu kuanggukan kepala tanda mengerti. Kulepaskan penyuara telinga dan bangkit dari duduk. Kumelangkah menjauh dari Mami yang kuyakin masih memperhatikanku.

Sempat bingung mau menghampiri siapa karena tidak ada yang seumuran denganku. Semua sepupuku rata-rata memiliki teman yang seumur. Mas Jagad contohnya, seumuran dengan Mas Angga dan Mbak Zana. Mbak Savita seumuran sama Mbak Renata dan Mas Awan. Cuma Mbak Rara saja yang usianya nggak jauh beda denganku, tapi sejak lulus kuliah dia punya pergaulannya sendiri.

Akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri Eyang yang melambaikan tangan memanggilku.

"Happy birthday, Eyang yang Paling Cantik," kataku sambil memeluknya. Eyang hampir tidak pernah memarahiku jika aku memeluknya.

Beruntung aku jauh dari Mami. Dia pasti akan memberiku tatapan mematikan jika melihatku sekarang.

"Terima kasih, Sayang." Eyang mengelus pipiku. "Kamu sendirian aja?" tanyanya.

"Iya, nih. Semuanya udah sibuk masing-masing," rajukku yang malah membuat Eyang tertawa.

"Semua trah Tranggana pasti akan sibuk pada waktunya. Kamu tahu, kalau Tranggana itu berarti bintang?"

Aku yang baru pertama kali mendengar penjelasan itu menggeleng.

"Tranggana memiliki arti bintang. Semua yang memakai nama ini pasti akan menjadi bintang. Begitu juga dirimu, Sayang."

Aku memajukan bibir, sedikit mengejek Eyang. Eyang malah menjawil hidungku.

"Dasar anak bandel, didoakan malah mengejek."

"Iya, Eyang. Terima kasih untuk doanya. Tara berharap doa Eyang akan terwujud."

Eyang mengelus rambutku yang tergerai lalu berkata, "Every star will be shine in it's own time, Darling."

"

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.
Melody in Dream ( SUDAH TERBIT )Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin