Chapter 1

5.1K 367 128
                                    

Hiruk pikuk kota metropolitan seolah tak pernah mau melepas mobilitas meski larut sudah menjelang. Sembunyinya sang mentari tak dipeduli karena ada lampu-lampu jalanan yang menggantikan peran.

Berbeda dengan penghuni apartment mewah kelas atas di pusat kota bernomor 312 di pintunya. Namanya Nanon Korapat, mahasiswa rantau semester 6 berusia 20an.

Sang ibu yang hanya menyandang orang tua tunggal di kota asal membuat Nanon harus bekerja keras demi membiayai kuliahnya sendiri. Guru les, pelayan cafe, bahkan tukang cuci motor dan mobil pernah dilakukannya. Pekerjaannya tak tentu, keluar masuk berganti-ganti dengan berbagai alasan. Ada yang gajinya tak seberapa, waktunya tak sesuai dengan jadwal kuliahnya, dan sederet alasan lain yang menghambat Nanon.

Sampai kini ia temukan satu pekerjaan tetap yang dirasa mudah, sesuai jadwal kuliahnya, dan gaji yang fantastis tentu saja. Berawal dari perkenalannya dengan Nani, seorang pelanggan di tempat cuci mobilnya dulu, si pria berambut gondrong membawanya memasuki dunia gemerlap yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya.

Cklek..

Nanon yang sudah tidur lelap sejak selesai mengerjakan tugas pukul sepuluh malam tadi harus terusik karena suara daun pintu kamar yang dibuka dari luar. Ia memang tipikal orang yang mudah terganggu lelapnya ketika mendengar atau merasakan sesuatu.

Tanpa membuka mata, si manis tersenyum dengan dua dimple mencuat. Aroma white musk yang menyapa indera penciumannya membuat ia semakin yakin, siapa yang kini mendekat ke arah ranjangnya.

"Apa sopan memanggil kemari tapi malah ditinggal tidur seperti itu?" Suara husky yang terdengar tak sontak membuat Nanon membuka mata.

Cup..

Barulah ketika si lelaki mencium bibirnya singkat Nanon mengerjap dan duduk menghadapnya.

"Apa sih, Mas? Katanya tadi di telfon sibuk??" Bibir sewarna peach alami itu kini dimajukan, merajuk.

Si lelaki berkulit tan di hadapan Nanon tersenyum simpul. Jas abu-abunya ditanggalkan, menyisakan kemeja kusut yang sudah lepas tiga kancing atasnya. Kemudian ia duduk menghadap si manis yang malam itu mengenakan piyama satin berkain minim dan mengusap kepalanya lembut. Tak lupa jemari milik si lelaki merangsek masuk, menelusuri jejak indah dan mulus pinggang Nanon di dalam piyama lalu mengelusnya sampai dada.

"Engh.." erangan Nanon tak dipedulikan.

"Client Mas minta meeting malam ini juga, sayang. Jadi harus dituruti."

"Bohong!! Bilang aja mau pulang ke rumah istri kamu, kan?" Mata Nanon mendelik. Namun bukannya takut si lelaki malah merasa lucu dan gemas.

"Ini kan memang jadwalku pulang, baby."

"Tapi... tapi aku kan...."

"Kenapa? Uang kamu kurang? Atau kamu butuh apa? Bilang aja."

"Bukan gitu, Mas. Aku cuma mau kamu pulang ke sini!!"

Diam langsung tercipta mana kala Nanon menyelesaikan kalimat bernada agak tingginya. Si manis menunduk, sadar ia telah melakukan kesalahan. Sedang lelaki di hadapannya langsung menatap tajam, merubah tatapan hangat yang tadi sempat datang.

"Nanon."

"Maaf, Mas."

"Ck. Sekali lagi saya ingatkan, jangan atur saya sesuai keinginan kamu. Saya masternya di sini. Paham?"

Kepala Nanon semakin ditundukkan. "I..iya, Master." Untung ia masih ingat, panggilan apa yang harus ia gunakan ketika si lelaki sedang dimakan emosi seperti sekarang.

Jas yang tadi sudah teronggok di samping Nanon diambil kasar oleh sang lelaki dan memakainya kembali. "Renungkan kesalahan kamu, saya pulang." Dingin nadanya, namun disusul jua dengan kecupan basah di bibir dan leher Nanon.

CATASTROPHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang