Prolog

847 108 91
                                    

"Dek, buruan! Bapak sama Ibu sudah nunggu di bawah," panggilku dari pintu kamar Arumi yang terbuka lebar.

Tidak ada sahutan. Sudah hampir setengah jam menunggu, adik kesayanganku belum juga keluar dari dalam kamar. Apa semua perempuan seperti dia? Sekadar ganti baju saja butuh waktu beberapa jam. Berulang kali bergaya di depan cermin, duduk lagi, berdiri lagi. Entah sampai kapan.

"Boleh nggak, sih, kali ini aja aku absen, Mas?"

Akhirnya, dia bersuara juga. Kuperhatikan, ada yang berbeda dengan Arumi malam ini. Dia yang biasanya ceria, terlihat sedikit murung. Meski wajah tetap cantik, tetapi sorot mata sayu tak dapat menutupi bahwa dia sedang tidak baik-baik saja. Beruntung, balutan dress hitam, ditambah ikat pinggang putih bertabur kristal Swarovski mampu mengalihkan perhatian.

"Yang benar saja. Kamu mau dicoret dari daftar keluarga? Ayo, buruan!"

Dia memang paling malas kalau diajak berkumpul dengan keluarga besar. Aku juga malas sebetulnya, tetapi posisi sebagai cucu pertama mewajibkan untuk bisa merangkul para sepupu dan kerabat lainnya. Bagaimanapun, mereka adalah pemilik saham di TrangTex, perusahaan induk keluarga yang saat ini dipegang oleh Bapak dan aku. Kekeluargaan yang menyatu dengan bisnis.

"Aku ikut mobil Mas Jagad!" teriak Arumi penuh semangat.

Tidak masalah buatku. Aku memang sengaja berangkat dari rumah supaya bisa berbincang sama dia. Sudah lama kami tidak bertemu. Hobi dugem dan hang out Arumi beberapa bulan terakhir telah merenggut kedekatan kami. Dia tak lagi punya waktu untukku.

Aku terhibur dengan celotehnya sepanjang perjalanan. Tidak masalah, sekalipun lebih banyak jadi pendengar setia. Begitulah Arumi. Cantik, ceria, dan cerewet.

Lamborghini Aventador andalanku merapat ke sebuah bangunan bergaya klasik, istana milik Eyang Putri Nastiti. Malam ini, kami berkumpul untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-76. Dia terlihat sangat anggun mengenakan gaun brokat merah menyala, kontras dengan ruang makan yang didominasi oleh warna putih.

"Jagad, cucu Eyang ganteng banget!" Eyang Putri merentangkan tangan. Kami berpelukan erat untuk beberapa saat.

"Selamat ulang tahun, Eyang tersayang." Mencium pipinya sekilas, baru aku duduk di samping Ibu setelah menyapa beberapa kerabat yang sudah datang lebih dulu di sana, meski sekadar berbasa-basi.

Kuintip sekilas benda pipih segi empat bergambar apel rompal di kantong jas. Sial! Dia masih belum juga membalas pesanku. Masih ngambek? Please, Honey.

Sangat mengganggu konsentrasi ketika kekasih tercinta memusuhi kita. Dia memang sudah uring-uringan beberapa hari belakangan ini dan puncaknya adalah tadi siang. Dia marah karena tidak kuizinkan ikut ke acara ulang tahun Eyang Putri. Dia merasa tidak dihargai dan tidak punya eksistensi dalam kehidupanku. Bukan tidak mau memperkenalkan dia pada keluarga, tetapi aku belum punya cukup keberanian untuk itu. I'm so sorry.

Kami memang sudah pacaran selama satu tahun lebih, bahkan tidak terhitung berapa kali tidur bersama. Andai saja aku bisa berterus terang pada keluarga. Ya, hanya berandai-andai. Aku takut, keluarga tidak bisa menerima dia karena berbeda. Hubungan kami teramat istimewa, tidak seperti orang lain pada umumnya.

"Kenapa kamu, Dek?" Aku berbisik pada Arumi. Wajahnya semakin pucat dan kulihat beberapa kali menahan mual.

"Masuk angin kayanya."

"Kelayapan terus, sih. Nanti pulang dari sini, langsung tidur saja. Jangan—"

"Aku ke kamar mandi bentar." Dia langsung berdiri dan melangkah pergi. Aku menatap khawatir.

"Jagad, kapan kamu mau sebar undangan?" Suara Om Endra membuyarkan perhatianku pada punggung Arumi yang semakin menjauh.

"Undangan ulang tahun? Masih lama, Om," candaku.

Pertanyaan yang selalu kutanggapi dengan seloroh. Kata 'kapan' memang bisa tiba-tiba jadi menakutkan ketika diikuti oleh kata tunangan, kawin, nikah, dan punya anak. Pertanyaan yang sudah sangat akrab di telinga dan terlalu karib karena sering dilontarkan oleh mereka.

"Jangan-jangan, keponakan kita ini nggak doyan cewek, lho." Om Indra, saudara kembar Om Endra menimpali.

"Wah, bahaya ini. Mas, anakmu cepetan kawinin. Keburu nggak berfungsi nanti itunya." Om Endra terbahak-bahak menatap ke arah Bapak.

Bapak tidak pernah menanggapi ledekan adik-adiknya. Dia hanya berdeham dan pura-pura sibuk mengunyah appetizer malam ini. Menilik dari roman muka, laki-laki berusia 54 tahun itu sedang menahan amarah. Marah pada dua om kembarku atau ...?

"Gad, kamu ini blas nggak pernah pacaran, ya?"

Om Indra masih saja mengulik tentangku. Padahal kalau mau introspeksi diri, dia mestinya melihat ke samping, anak laki-lakinya yang sangat gemulai. Angga sebaya denganku, juga belum menikah. Lantas, kenapa harus aku yang jadi obyek penderita?

Cecaran terus mengarah padaku dari beberapa orang. Beruntung, Eyang Putri segera menengahi. Kalau tidak, bisa sepanjang acara makan malam ini aku terus di-bully.

Arumi kembali dari kamar mandi ketika suasana sudah kembali tenang dan pelayan mulai menghidangkan menu utama. Kuamati, dia sudah tidak mual-mual lagi. Dia menghabiskan makanannya meski terlihat kurang berselera.

"Mas, pinjem kunci mobil bentar. Ada barang ketinggalan di mobil," bisik Arumi.

Bersamaan dengan bisikan Arumi, gawaiku bergetar. Pesan dari orang yang sedari tadi kutunggu balasannya. Tanpa banyak bertanya, kuserahkan saja kunci mobil pada Arumi. Perhatian hanya tertuju pada layar gawai.

Honey: Baby, I need a break! Gue kecewa sama lo. Setahun lebih kita jadian, ternyata lo nggak pernah serius sama gue! Pikirin dulu, mau lo gimana!!!

Belum sempat kubalas, foto profil dia tiba-tiba menghilang. Celaka, nomorku diblokir! Aku mendesis geram. Kalau saja bukan acara ulang tahun Eyang Putri, pasti aku sudah pergi dan meluncur ke rumahnya. Sh*t!

 Sh*t!

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.
Perfect Love for Unperfect ManDove le storie prendono vita. Scoprilo ora