Bab 7 - Angga's Time

261 63 62
                                    

Kuceritakan pada Angga tentang paksaan Bapak agar aku segera menikah. Tentu saja, dengan wanita. Bapak bisa mati berdiri kalau aku menikahi sesama pria.

"Apa kamu juga dipaksa untuk segera menikah, Ngga?"

"Ditanyain, sih. Tapi nggak pernah dipaksa-paksa juga. Ya, mau gimana lagi. Aku emang belum punya cewek. Terus, mau apa?" jawab Angga santai sembari mengedikkan bahu.

"Kamu itu ganteng, Mas. Sempurna sebagai seorang pria, nggak kayak aku. Kurasa, tinggal kedip sebentar aja udah banyak cewek yang antri," sambungnya lagi.

"Tidak usah kedip juga sudah banyak yang antri, Ngga," jawabku penuh percaya diri. Bukan sombong, tetapi memang itu kenyataannya.

"Percaya, sih. Terus, apa masalahnya? You have to choose the best one, kelar perkara."

"Tidak semudah itu juga. Aku ... tidak berselera pada mereka."

Percakapan terhenti sejenak ketika pelayan datang membawakan minuman. Taro latte yang terkesan unyu-unyu untuk Angga dan aku tak pernah berganti selera, masih seputar teh saja. Chamomile tea dipercaya mampu mengurangi stres. Tidak ada salahnya kucoba.

"Selera Mas Jagad cewek yang kayak apa, sih?" Angga meniup-niup minumannya.

"Tidak ada."

"Lah, nggak punya selera? Maksud Mas Jagad, yang penting cewek, gitu?" Dia menyesap minuman sembari menutup kedua mata, bergaya ala wanita bangsawan Eropa.

"Aku suka pria, bukan wanita."

Sontak, gaya anggun Angga hilang seketika. Minuman di mulut, muncrat ke mana-mana. Dia terbatuk-batuk dan segera meletakkan cangkir ke atas meja, lalu menutup mulut dengan selembar tisu. Wajar kalau dia bereaksi seperti itu. Pasti dia tidak menyangka kalau kami punya selera yang sama.

"Mas ... kamu ...." Dia coba berucap di sela-sela batuk.

"Biasa saja, Ngga. Kenapa? Kamu tidak menyangka kalau kita sama?" Aku tetap tenang menikmati chamomile tea di cangkir porselen putih polos, hanya ada garis emas tipis melingkar di dekat bibir cangkir.

"Sama ... gimana maksudnya?" Angga menatapku heran.

"Ya, sama-sama suka cowok."

Angga terlihat kebingungan. Padahal, tidak perlu seperti itu. Semua orang sudah bisa menebak. Gaya feminin, profesi desainer, sudah cukup sebagai bukti, pengakuan tanpa ucapan.

"Punya ide untuk mengatasi masalah kita?"

"Kita?"

Entah mengapa, hari ini Angga seperti orang linglung. Dari tadi diajak bicara, harus selalu mengulang perkataan. Apa dia sedang jatuh cinta? Karena kata orang, jatuh cinta membuat kita menjadi bodoh.

Terpaksa kujelaskan pelan-pelan pada Angga maksud pertanyaanku tadi. Suatu saat nanti, dia pasti akan menghadapi situasi yang sama denganku sekarang. Karena itulah, kubilang masalah kami, bukan masalahku saja.

Angga terdiam, terlihat sedang berpikir keras sembari menikmati makan siang yang baru saja disajikan. Mungkin, dia butuh sedikit waktu untuk mencerna semua kata-kataku. Aku belum punya gagasan apa pun tentang masalah ini. Sepertinya, kali ini aku harus mengandalkan dia.

"Mas, selama ini ... kamu jadi top atau bottom?" Sedikit ragu, akhirnya dia bersuara juga.

Istilah top dan bottom biasa kami gunakan untuk menentukan roleplay dalam bercinta. Bottom adalah pria yang berfungsi sebagai wanita, dan sebaliknya, top sebagai pria kami. Ada satu golongan lagi yang bisa berfungsi keduanya, biasa disebut dengan versatile atau vers. Vers top bagi mereka yang lebih cenderung sebagai top dan vers bottom bagi mereka yang sebenarnya lebih menyukai jadi bottom.

Orang seperti Angga, kemungkinan besar sebagai bottom. Itu sudah terlihat jelas dari cara dia bicara, berjalan, dan mengekspresikan diri dengan dandanan sehari-hari. Kalau yang sepertiku, cukup susah untuk dibedakan. Kebanyakan top, tetapi tidak jarang juga menjadi bottom. Aku salah satunya.

Aku suka pria yang lebih tua dariku. Aku lebih suka dimanja dan bermanja, daripada memanjakan. Banyu adalah satu-satunya pacarku yang feminin, meski dia itu top. Aku menyukai dia bukan dari penampilan belaka, tetapi lebih pada hatinya. Dia yang mengajarkan padaku untuk bisa memperhatikan serta memanjakan pasangan. Ah, aku jadi rindu dia.

"Aku bot. Kenapa?"

Angga menjelaskan bahwa pria bottom memang jauh lebih sulit untuk menjalin hubungan dengan wanita. Kalau top, mereka masih bisa berpura-pura dan menjalankan fungsinya sebagai seorang pria, meski mungkin tidak terlalu berselera. Ini di luar alasan penampilan. Masuk akal juga pemaparan Angga.

"Mas Jagad sudah pernah coba ML sama cewek?" Jari lentik Angga terlihat cantik ketika menggulung spaghetti. Dia pasti laris manis di kalangan para top. Sepupuku satu ini memang menggemaskan.

"Belum. Kamu?"

"Eh, di sini obyeknya bukan aku, tapi Mas Jagad. Udah, jangan nanya-nanya soal aku." Dia mengacungkan telunjuk kiri, lalu menggerak-gerakkan seperti ibu-ibu melarang anaknya melakukan sesuatu. Jari panjang dan runcing serupa tugu monas.

Angga menyarankan agar aku mencoba untuk bercinta dengan wanita. Bagaimanapun caranya, harus bisa. Dia memaksaku belajar. Tidak hanya satu atau dua kali saja, tetapi berkali-kali.

"Mas coba rasakan sensasinya dan yang paling penting, harus bisa ngecrot. Soal Mas Jagad puas atau nggak, itu nggak penting di kasus ini. Selagi Mas bisa bercinta sama cewek, menikah bukan masalah." Angga menjentikkan jari dengan penuh semangat.

Aku manggut-manggut mendengar penjelasan dia. Tidak salah mengajaknya makan siang hari ini. Ide bagus! Eh, tapi dengan siapa aku akan bercinta?

"Terus, aku ML sama siapa, Ngga?"

"Sama kucing! Gampang itu, Mas. Bentar, aku mintakan nomor germonya dulu." Dengan lincah jemari itu menari di atas layar ponsel.

"Ngga, mulutmu ...." Kuulurkan sehelai tisu padanya. Bibir Angga yang merah alami, ternodai saos bolognese di sudut sebelah kiri.

"Duh, kalau aja aku ini cewek, pasti udah meleleh gara-gara sikap kamu, Mas." Dia menyeka sudut bibir lalu menandaskan taro latte yang masih tersisa setengah cangkir.

"Yes! Aku udah dapat nomornya. Aku forward ke kamu, ya." Dia berseru girang sambil mengepalkan tangan. "Mas tinggal pesan cewek yang kayak gimana. Kata temanku, ada katalognya, kok."

Dia memang selalu bersemangat. Jarang melihat sepupu satu ini lesu. Dia selalu ceria seolah masalah tak pernah hinggap dalam hidupnya.

"Oke." Tak mau membuang waktu, aku segera menghubungi germo itu. Kalau bisa, malam ini juga aku akan mencoba saran dari Angga. Harus bisa!

[Pesan cewek. Bisa lihat katalognya?] Aku tak biasa berbasa-basi, apalagi untuk urusan seperti ini.

Tidak sampai satu menit, sudah ada pesan balasan. Dia memberi tiga golongan harga beserta link masing-masing untuk melihat katalog wanitanya. Sepertinya memang sudah sangat profesional. Kupilih golongan termahal. Jelas, cucu Tranggana harus mendapatkan yang terbaik. Muncul sembilan foto, kandidat terbaik mereka. Semuanya cantik dan menarik, bagi kalangan biasa. Bagi aku dan Angga ... entahlah.

"Ngga, pilih yang mana?" Kutunjukkan foto yang terpampang di layar ponsel pada Angga.

"Mas aja yang pilih. Kan, bukan aku yang mau test drive," celetuk dia sambil tertawa.

Oke, kalau begitu aku pilih ....     

     

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.
Perfect Love for Unperfect Manحيث تعيش القصص. اكتشف الآن