Bab 8 - Yeah, That Girl!

258 65 55
                                    

Claudia, gadis yang akhirnya kupilih untuk menemani malam ini. Andai saja ada stok wanita tomboi yang mirip dengan pria, pasti akan jauh lebih mudah bagiku untuk bercinta. Sayangnya, tidak ada. Semua gadis yang ditampilkan di katalog terlihat anggun, centil, feminin, lemah lembut, masih seputar itulah. Mereka masih sama dengan kebanyakan wanita. Apa hanya sebatas ini imajinasi pria terhadap wanita?

Harga dua puluh lima juta untuk sekali bercinta, sebenarnya rugi juga. Kalau kencan dengan seorang pria, aku tidak perlu memberi apa-apa. Cukup saling suka, basah, lalu lupa. Sesederhana itu dunia para pria.

Tepat pukul sembilan malam, terdengar suara ketukan di pintu depan. Pasti Claudia. Tepat waktu, salah satu ciri profesionalisme kerja. Aku memilih gadis ini karena dia terlihat paling nakal di antara gadis-gadis lainnya. Semoga saja, dia bisa mengajari banyak hal tentang bercinta.

"Hai, Bang Abi?" Gadis bertubuh sintal dengan dengan dada besar lebih dari satu genggaman, terlihat molek dalam balutan kaos ketat warna merah menyala serta rok mini hitam yang panjangnya hanya beberapa senti.

Aku sengaja menggunakan nama samaran. Claudia juga pasti nama samaran, bukan? Sebelum menghubungi sang germo, aku juga sudah mengganti foto profil menjadi gambar pemandangan. Identitas asli perlu dilindungi.

"Yes. Masuk saja, Claudia." Kubuka pintu lebar-lebar. Dia melenggang santai, bahkan sempat mengerling nakal ke arahku.

Duduk menyilangkan kaki, kulit putih mulusnya terlihat sangat kontras dengan warna sofa yang hitam legam. Kaki jenjang sedikit berisi, tampak sempurna mengenakan high heels warna senada dengan kaos ketatnya. Dia memandang sekeliling sambil berdecak kagum.

Kuambil sebotol red wine dari minibar yang terletak tidak jauh dari ruang santai. Chateu Cheval Blanc. Penggemar wine pasti mengenal anggur merah kebanggaan bangsa Perancis ini. Berjalan tenang sembari memindai gadis ini, tangan kiriku menjepit dua buah gelas, tepat di kaki mereka.

"Penthouse yang sangat nyaman." Claudia memuji ketika kuulurkan tangan kiri. Dia mengambil salah satu gelas di genggaman, lalu kutuangkan wine hingga terisi setengahnya.

"Thanks," jawabku singkat sambil mengisi gelasku sendiri.

Kami beradu gelas. Suaranya lebih mirip peperangan daripada kekompakan. Kami memang akan segera berperang. Kita lihat, siapa yang akan menang, dia yang sudah berpengalaman atau aku dengan pengalaman pertamaku.

Kami saling beradu pandang ketika bibir menyesap pelan. Aku tetap berdiri dan dia beringsut maju menyentuh pahaku. Aku berharap, ada getaran yang segera muncul dan menggelegak dengan bantuan sebotol anggur. Namun, semua masih datar-datar saja. Tidak ada sesuatu menggeliat di bawah sana. Tak ada bongkahan mengeras di balik celana.

Berbeda dengan Claudia yang napasnya mulai memburu, aku biasa-biasa saja. Sangat berbeda ketika aku melihat pria tampan. Tak perlu bersentuhan, sekadar menatap saja sudah cukup untuk membangkitkan gairah. Apa indahnya seorang wanita?

Tangan dan mulut Claudia mulai bergerilya. Baju dan celanaku juga sudah acak-acakan. Aku mematung, memejamkan mata, sembari tetap berdiri. Sayangnya, adik kecil tidak mau ikut berdiri. Dia masih saja tertunduk lemas, meski aku sudah berusaha menikmati setiap sentuhan serta cumbuan Claudia.

Gadis itu tidak menyerah. Dari serangan lembut, gigitan, hingga hisapan kasar dia lakukan. Melihat lawan tetap bergeming, dia mencoba mengganti posisi. Dia mendorongku ke arah sofa, menindih dan menelusuri setiap jengkal tubuhku hingga beberapa puluh menit.

"Abang nggak suka sama aku, ya?" Dia menatap lekat, masih menindih tubuhku.

"Sori." Hanya itu yang bisa terucap dari bibirku.

Dia menggeser tubuh, duduk bersandar lalu mengeluarkan sebatang rokok dari kotak alumunium dilapisi kulit imitasi berwarna merah tua. Dia terlihat kecewa. Masih dalam keadaan polos tanpa sehelai benang menempel di tubuh kami, aku ikut duduk di sampingnya.

"Kamu tetap dapat bayaran sesuai kesepakatan. Don't worry," ucapku pelan.

"Kalau aku ini bukan tipe Abang, kenapa pilih aku?" Dia mengembuskan asap tebal dari sela-sela gigi diiringi desisan kesal.

Kenapa dia harus semarah itu? Bukankah aku tetap membayar penuh? Lalu, apa ruginya dia? Aku malas menjawab pertanyaan dia. Bergegas kukenakan pakaian agar gadis ini cepat menyingkir dari hadapanku.

"Ada tiga kemungkinan kalau laki-laki menolakku." Tidak segera pergi, dia malah berasumsi.

"Pertama, dia lagi patah hati. Jadi, malas untuk bercinta. Kedua, aku bukan selera dia. Tapi ini jarang terjadi karena yang namanya laki-laki, nggak bakal nolak disuguhin cewek jenis apa pun juga." Dia berhenti sejenak, kembali menghisap dan mengembuskan asap rokok dari rongga mulutnya. Penthouse-ku jadi bau!

"Kemungkinan ketiga, cowok itu homo."

Menyebalkan! Aku membayar mahal bukan untuk dihina. Memang kenapa kalau aku ini homo? Bukan urusan dia. Dia hanya sarana buang lendir, tidak jauh lebih baik dariku.

"Menurutku, Abang termasuk kategori yang pertama. Aku bisa ngerasain patah hati kamu, Bang. Baru putus?"

"Ya." Kusodorkan botol anggur lagi, meski tebakan dia salah. Aku termasuk dalam tiga kategori tadi, patah hati, bukan selera, dan homo.

"No, thanks. Sori, kalau tadi aku emosi. Ditolak itu nggak enak. Aku ngerasa kayak nggak ada harganya sama sekali. Ya, meski Abang tetap bayar aku penuh, tetep aja nggak enak. So, Abang mau ganti orang?" Claudia mematikan rokok lalu menatapku lekat-lekat. Dia tidak risih bertelanjang bulat seperti itu di hadapanku.

"Tidak usah. Kalau ... kamu coba satu kali lagi, bisa?" Aku mendekat lagi ke arah Claudia. Aku sudah menenggak setengah botol minuman di tangan. Siapa tahu, kali ini bisa berhasil.

"Kita coba." Gadis itu berdiri, langsung mencium kasar dan melumat tegas bibirku seraya tangan bergerilya di bawah sana. Dia masih terus mencumbu selama beberapa menit hingga seketika melerai jarak di antara kami berdua. "Percuma, Abang nggak berselera. Coba cari gadis lain aja."

Lagi-lagi, wajah dia tampak kecewa. Aku tidak menjawab. Kubiarkan saja dia mengenakan pakaian, lalu sedikit merapikan polesan selagi aku mengirimkan pesan pada Angga.

Jagad: Gagal, Ngga. Aku tidak bisa!

"Aku balik, Bang. Makasih, ya. Aku siap kalau Abang panggil lagi. Tapi nanti, kalau sudah kelar urusan patah hati kamu." Claudia mendaratkan ciuman ringan ke kedua pipi dan dahi.

Sial! Aku tidak sempat mengelak. Benar-benar pengalaman menjijikkan malam ini. Aku sudah menahan jejap sedari tadi, berusaha tetap santai dan menikmati, tetap saja tidak bisa. Hati tak bisa dibohongi, begitu juga dengan si Johni.

Angga: Coba lagi! Jangan nyerah, Mas!

Jagad: Sudah berkali-kali, Ngga! Cari ide lain lagi, buruan!

Menunggu hingga lebih dari sepuluh menit, Angga belum membalas juga. Aku menjambak rambut sendiri, gemas dengan himpitan keadaan. Apa harus menuruti kemauan Banyu, ya? Pergi ke luar negeri, lalu menikah di sana. Bagaimana dengan bisnis Tranggana? 

 Bagaimana dengan bisnis Tranggana? 

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.
Perfect Love for Unperfect ManOù les histoires vivent. Découvrez maintenant