Compulsion

206 32 16
                                    

Tumpukkan buku-buku tebal tercecer di atas meja belajar milik Bara. Seharian mengerjakan tugas kuliah yang tak kunjung rampung membuat pria itu menghela napasnya berat. Berhenti berkutat dengan layar laptop, Bara bangkit dari duduknya. Berjalan gontai menuju balkon kamar, binar jingga pertama kali menyapa indera penglihatannya.

Tentang senja, menghantarkannya mengingat sosok Zia. Gadis cerewet yang kerap kali memintanya untuk dibelikan boba. Kemudian jika hari akan menjelang petang, biasanya gadis itu akan memaksanya untuk bermain sepeda mengelilingi kompleks. Namun, semenjak kepergiannya membuat hari-hari Bara yang semula berwarna, kini hanya diselubungi perasaan hampa. Pria itu kehilangan alasan terkuatnya untuk tetap tegar menjalani hari perhari yang ia lewati.

Sampai sebuah ketukan terdengar dari luar kamar. Tak banyak menebak siapa yang mengetuknya, Bara segera berlari membuka pintu kamarnya yang terkunci. Namun, betapa terkesiapnya ia saat mendapati Syeril berdiri di hadapannya. Dengan paper bag yang bertengger di tangan kanannya, gadis itu tersenyum lebar.

"Hai, Ra," sapa Syeril ramah. Di sisi lain Bara memalingkan pandangannya culas, lantas berlari menuruni satu persatu anak tangga menghindari Syeril yang terus memburunya.

"Bi Lala! Bii!" teriak Bara. Beberapa kali memanggil asisten rumah tangga sekaligus ibu angkatnya, tak kunjung ada sahutan. Bara mendecak.
Sedangkan Syeril memburu langkahnya dari belakang.

"Raa, tunggu!" cegah Syeril. Bara terus-menerus mangkir. Jelas saja kehadiran Syeril membuatnya semakin bad mood. Ingin rasanya Bara menjambak rambut perempuan itu. Namun, hanya pria bajingan yang berani melakukan hal itu.

"Kalo kedatangan lo kesini cuma buat maksa gue nerima perjodohan bokap lo, mending lo pergi dari rumah gue!!" sarkas Bara. Gurat amarah terekam jelas di wajah pria itu.

"Jelas lo harus terima! Lo ga mau kehilangan sahabat kesayangan lo itu 'kan?" Syeril menyeringai. Gertakannya berhasil membuat Bara terdiam seribu bahasa.

"Lo ga usah macem-macem, bangsat!!!" geram Bara. Rahangnya mengeras. Kubu amarah sudah diujung tanduk. Sebisa mungkin Bara meredam amarahnya agar tak tersulut.

"Gue ga maksa. Dengan lo nolak gue, itu artinya lo akan kehilangan semuanya." Sudut bibir Syeril tersenyum licik. Lantas menyodorkan paper bag yang dibawanya. Gadis itu berlalu meninggalkan rumah Bara dengan senyum yang terus menyeringai. Menyisakan pria di dalamnya yang tengah berusaha meredam amarahnya yang membuncah.

Perjodohan satu minggu yang lalu membuat Bara terus-menerus diselubungi perasaan kalut. Pria yang sudah berkepala dua itu terpaksa harus menanggung beban pikiran lain di sela-sela memikirkan tugas-tugas kuliah.Terlebih kepergian sahabatnya adalah awal dari keterlukaannya.

"Zi, Mas butuh kamu," lirihnya. Tak ada air mata yang luruh. Yang ada hanya hati yang terlanjur rapuh.

Semburat binar jingga di atas cakrawala pun kian memudar. Berganti rona menjadi hitam kelabu. Seolah mengerti akan pilu dan rindu yang berlabuh secara bersamaan.

Detik berikutnya dering telefon memecahkan lamunan Bara. Merogoh saku celananya, lantas menekan ikon hijau untuk menerima panggilan. Panggilan dari seseorang yang sangat dirindukannya membuat senyum Bara terulas.

"Sayang, Mama sama Papa minggu depan pulang. Kamu baik-baik aja, 'kan di rumah?" ucap seorang wanita dari seberang telefon.

"Bara baik-baik aja kok, Ma. Bara seneng kalian akhirnya pulang. Tapi ... apa semuanya bakal baik-baik aja, Ma?" Gurat bahagia yang terpatri di wajah tampan Bara seketika memudar.

"Semuanya akan baik-baik aja, Sayang. Kita lewati sama-sama. Berdoa sama Allah supaya takdir baik berpihak sama kita. Papa sama Mama nggak bisa terlalu lama menghindar. Apapun yang terjadi nanti, kita harus tetap tegar," jelas Ayna meyakinkan.

" Tapi, Ma ...."

"Kamu jangan khawatir. Kita usahakan semampunya. Keadaan Zia gimana, Nak? Apa anak itu masih sering diperlakukan kasar sama ayah tirinya?" selidik Ayna. Bara menggeleng tanpa Ayna tahu. Helaan napas kembali terdengar.

"Masih, Ma. Bahkan sekarang Zia dipergi dari rumahnya. Dia tinggal di apartemen milik Om Sehan yang dulu," imbuh Bara.

"Anak yang malang. Erik memang nggak pernah berubah dari dulu. Selalu berperingai bengis dan angkuh!" cecar Ayna geram. Wanita yang sudah berkepala empat itu sudah tahu persis perangai buruk ayah dari sahabat putranya itu.
Bara terdiam. Menunggu perkataan selanjutnya yang akan dilontarkan Ayna.

"Ya sudah, Mama tutup dulu telfonnya, ya. Kamu baik-baik disana. Salamin ke Bi Lala. I miss u so," pamit Ayna. Sambungan telefon terputus dari pihak seberang.

Meletakan handphone asal, Bara merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Menatap kosong langit-langit kamar. Perlahan netranya terkatup. Lelaki itu terlelap hanya dalam hitungan detik.

____

Satu pekan sudah berlalu, menyisakan kekalutan yang tak kunjung enyah dari fikiran Zia. Padahal, ujian semester sudah berlalu. Harusnya saat ini ia tengah menikmati hari-hari libur dengan bermain sepeda bersama Bara.

Memilih bangkit dari posisi tidurnya, Zia bergegas untuk membersihkan diri. Hari ini, ia akan menghabiskan waktunya dengan Hana; wanita paruh baya yang ia notabane-kan sebagai ibu angkatnya.
Terlebih Hana sudah dipulangkan dari rumah sakit.

Hanya membutuhkan waktu dua puluh lima menit untuk Zia menuntaskan ritual mandinya. Menghabiskan waktu sepuluh menit untuk bersiap, Zia bergegas dari kamar apartemennya. Berjalan santai menyusuri koridor unit, seorang gadis memburu langkahnya dari belakang. Gadis itu menerjang tubuh mungil Zia hingga tersungkur beberapa senti ke depan.

"Aww!!" Zia memekik tatkala tubuhnya didekap sedemikian erat oleh gadis di belakangnya. Terus bersikeras melepas dekapan itu, Zia meraung.

"Pagi-pagi udah rapi aja. Mau kemana, nih," seloroh gadis itu yang tak lain adalah Ceri.

"Lepassss curut! Gue kira siapa!" Mengerucutkan bibirnya ke depan, Zia merajuk.

"Ceileh, berharap yang meluk Mas Bara, ya," goda Ceri. Menaik turunkan kedua alisnya, Zia dibuat merinding.

"Gue kira tadi malaikat Izroil yang meluk gue." Zia terkekeh. Sedangkan Ceri justru menatapnya tajam.

"Gila lo, ya! Nyamain gue sama malaikat Izroil!" amuk Ceri.

"Ya iya lah, yakali gue nyamain lo sama sama neng Lisa Black Pink. Bagaikan langit dan bumi!"
Ceri hanya dapat bersidekap dada mendengar ejekan Zia yang memojokkan dirinya.

"Gue kirim ke pati jompo tau rasa lo!" Ceri mencomot bibir Zia. Tak mau kalah, Zia mencomot balik bibir Ceri. Adu mekanik tak dapat terelakkan. Keduanya bergelut layaknya anak kecil yang sedang memperebutkan mainan.

Hening. Keduanya mengatur nafasnya yang terus memburu usai melakukan aksi adu mekanik yang tentu saja menguras banyak tenaga. Keduanya terkekeh. Begitupun dengan seorang pria yang menyaksikannya dari balik dinding yang kokoh.

Hai apa kabar? Baik? Syukurlah ehe ^^ Jangan lupa votement-nya yaa See u and thanks

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai apa kabar? Baik? Syukurlah ehe ^^
Jangan lupa votement-nya yaa
See u and thanks

Follow my insta : Meyyoghurt

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 20, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sejauh A dan Z [SEDANG REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang