- Selamat jalan Nabastala, dari Bentala

357 50 711
                                    

Play song : Shanna Shannon - Rela

-

Ergas menatap hamparan langit malam tanpa bintang, Ergas, Janu, Dika sedang duduk dipelataran rumah Eja menyambut para tamu yang hendak melaksanakan tahlilan. Sementara Nadin dan Adis ada didalam rumah Eja begitupun Ayah juga Bunda nya Nadin.

Hanya helaan napas yang terdengar dari mereka bertiga. Kini mereka tidak lagi lengkap hanya sisa yang ada, entah rasanya akan sama atau berbeda yang jelas bagi Dika, Janu, dan Ergas sosok Eja kini hanya bayangan semata, "Udahan kenapa sih Gas nangisnya, kalo Eja liat lu gue jamin bakal diledekin." Dika berusaha menangkan Ergas, dari sepulang pemakaman laki-laki itu menangis dalam diamnya sementara Janu tidak berkutik sedikit pun, tatapan anak itu kosong pikirannya seakan menitah bahwa dia hanya bisa terdiam bisu melihat daksa kaku milik temannya.

"Biarin deh gue diledekin itu anak, gue mau dia balik ke kita bisa enggak sih?" Eluh Ergas sambil menyapu air matanya.

Ergas tidak perduli dia dibilang cengeng, kehilangan bukan hal yang sepele dan bukan hal yang menyenangkan.

"Enggak bakal bisa, dia udah pergi selamanya dari kita mau lu bersimpuh didepan kuburannya juga Eja enggak bakal balik, bukan cuman lu yang ngerasa kehilangan Eja, gue sama Dika juga kalo lu begini, kasian Eja." Janu akhirnya angkat bicara dengan intonasi dingin. Dika kini paham, Janu adalah orang yang paling kehilangan Eja. Bagaimana bisa Janu memisahkan raga nya pada Eja? Teman seperjuangannya, teman berbagi keluh kesah, teman bertukar petuah bahkan teman bertukar tempat tidur jika Eja kalut dengan masalah rumah.

Ergas menunduk, diam-diam dia membenarkan apa yang Janu bilang semuanya percuma, Eja tidak akan kembali bersama mereka lagi kini dinding diantara mereka sungguh tebal, dimensi ruang mereka berbeda.

Hening kembali menyapa suasana di sekitar mereka, Janu tertegun memikirkan amanah Eja, saat diteras waktu itu. Ternyata Eja menitipkan Nadin bukan untuk menghilang sementara atau sesekali, tapi hilang untuk selamanya dan tidak kembali bahkan mirisnya tanpa sempat berpamitan, bahkan waktu itu Janu mencoba menepis semua bayang tentang kehilangan dan kepulangan sekarang seolah-olah dia diharuskan berlapang dada.

Janu bangkit, bermaksud berlalu kedalam rumah.

"Mau kemana Jan?"

"Ke dalam, Dik." Dika mengangguk, dia memilih berdiam didepan pelataran saja menenangkan Ergas yang masih menangis dalam diam nya, bukan Dika tidak bersedih atau menangis atas kepergian sahabatnya tapi Dika tidak mau membuat Eja tersiksa dengan banyaknya tangisan yang mengiringi, pasti akan sulit untuk langkah kepergian anak itu.

Kalo lu disini, gue pengen meluk lu Ja batin Dika merana diterpa nelangsa yang begitu hebat, sakitnya lebih dari pada putus cinta jika disuruh putus dengan Gea mungkin Dika akan berbesar hati, lantas dengan kehilangan sahabat? Apa bisa Dika berbesar hati begitu saja? Mengikhlaskan itu bohong yang ada hanya terbiasa mengenang seiring berjalannya waktu kedepan.

-

Nadin berjalan menuju kamar Eja, anak itu meninggalkan ruang tengah, diruang tengah banyak orang yang datang untuk mendoakan Eja dengan harapan-harapan bahwa anak itu tenang di alam sana, untuk malam ini Nadin hanya ingin menumpahkan rindu di kamar yang kini tidak akan pernah didatangi penghuni nya lagi. Kamar ini menggoreskan luka begitu pilu pada batin teman-teman terdekatnya yang ditinggalkan, kekasihnya juga sang Bunda yang masih setia meraung bersama tangisan pilu diruang tengah.

Satu tarikan napas panjang membawa Nadin pada kegamangan, dia ragu untuk membuka kamar itu dia sudah lelah untuk dipaksa menangis terus menerus, tapi perasaan sialan ini membuatnya semakin tersiksa setiap jam.

Jagat Nabastala Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang