Ch. 13 : How?

166 49 10
                                    

"I need a day to not think about anything."
.
.

"Lebih menyenangkan mana, melihatku dari dekat atau menulis artikel dan mencari tahu kehidupanku?"

Aku memperhatikan ekspresi Taehyung yang mulai berubah. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. "Apa Jimin yang memberitahumu?"

Sontak aku menoleh ke arah Jimin yang berdiri membeku di sampingnya. Ia terkejut dan menatapku takut. "A-aku bahkan baru tahu karena ia baru saja mengatakannya pagi tadi. Aku belum sempat bilang padamu."

"Benarkah?" tanyaku geram.

"Oh, jadi bukan Jimin," ucap Taehyung menyebalkan. "Kalau begitu Sana, ya?"

Gadis Jepang itu mengangguk. "Ya, meskipun baru dugaan, tapi ternyata benar."

Taehyung tiba-tiba tertawa cukup keras dan menatap Sana jengkel. "Kau ini cukup menyebalkan ternyata."

"Terima kasih," cibir Sana.

Tak cukup dengan itu, pemuda bernama Taehyung itu justru mengajak Jimin mengambil tempat tepat di samping meja kami. Sesekali ia mengajakku bicara namun tak ku hiraukan, tak menyerah dengan hal itu, Taehyung justru semakin berisik. Hal ini juga jelas membuat Sana dan Haneul tidak nyaman.

Aku menghela napas kasar. "Kita lanjutkan besok saja."

Kedua temanku mengangguk setuju. Aku memasukkan buku ke dalam tas dengan kesal dan kudengar Taehyung kembali bersuara, "Apa aku mengganggu kalian?"

"Menurutmu?" Aku menoleh tajam. "Dengarkan aku, Kim Taehyung. Aku tidak mengenalmu dan kau juga begitu. Bukankah kau tahu etika seperti apa yang harus digunakan kepada orang yang tidak saling mengenal?"

Pemuda itu sontak terdiam. Aku melanjutkan, "Dan aku juga tidak tahu apa tujuanmu membuat artikel seperti itu. Tapi kuharap kau punya akal sehat untuk menghapusnya."

Sana dan Haneul ikut terdiam, terlihat jelas dari wajah mereka yang tampak tak percaya bahwa aku bisa melontarkan kalimat tersebut.

Saat aku berdiri dan hendak pergi meninggalkan kafe, Taehyung tiba-tiba memegang tanganku. Aku sedikit tersingkap saat menoleh dan melihat ekspresi yang berbeda dari pemuda itu sebelumnya. Tatapannya begitu serius, membuatku merasa sedikit terintimidasi.

"Aku hanya ingin berteman denganmu," ucapnya pelan. Setelah itu Taehyung beranjak dari posisinya dan mendekatkan tubuhnya denganku sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke arah Jimin. "Aku pulang duluan," ucapnya.

Jimin mengangguk dan Taehyung berjalan mendahuluiku. Namun baru beberapa langkah, ia berbalik dan kembali tersenyum seperti biasanya. "Jeon Hana, aku akan menghapus artikelnya, jadi ayo kita berteman."

●●

Aku masuk ke dalam ruangan dan melemparkan tubuhku di atas sofa. Helaan napas keluar dari bibirku, membuat Jungkook yang berbaring di ranjang menatapku dengan heran.

"Ada apa?" tanyanya dengan dahi berkerut.

Aku menoleh, menatapnya yang sedang merubah posisinya menjadi duduk. "Aku bertemu orang aneh di kampus," sahutku asal.

Jungkook tidak merespon dan membuatku mengulang pertanyaannya. "Ada apa?"

Pemuda itu mengendikkan bahu. "Aku tidak ingin pulang."

Sontak kedua mataku membulat. "Kau sudah boleh pulang? Kapan?"

"Minggu depan," jawabnya.

"Bukankah itu bagus?" Aku berdiri dan menghampiri Jungkook. "Seharusnya kau senang bisa kembali ke rumah."

Ia terdiam sejenak sebelum berkata, "Setelah berhari-hari ada disini, aku justru merasa lebih nyaman."

"Kau harus pulang. Kau juga harus berangkat kuliah."

"Aku ingin sakit lebih lama," ucapnya dengan tawa kering.

"Jeon Jungkook!" pekikku spontan. Pemuda itu mendongak ke arahku.

Aku menatapnya tak percaya. Pemuda itu tidak terlihat seperti Jungkook yang biasanya, ia terlihat sangat murung. Bahkan bola mata yang biasa terlihat cerah itu, kini tidak terlihat hidup sama sekali.

Ia mengalihkan pandangannya dariku. Mataku terfokus pada jemarinya tampak mencengkeram kain selimut dengan kuat hingga sedikit bergetar.

Perubahan sikapnya terlalu mendadak, atau jangan bilang bahwa selama ia memang begitu dan aku tidak tahu karena ia selalu menyembunyikannya.

"Apa ada sesuatu yang terjadi? Seseorang mengganggumu?" tanyaku dengan nada yang lebih tenang.

Jungkook hanya menggelengkan kepala. Membuatku kembali menghela napas yang entah sudah berapa kali kulakukan hari ini. "Lalu kenapa kau tidak ingin pulang?"

"Aku tidak tahu," bisiknya. "Aku hanya takut, tolong jangan tanya lagi."

Melihat keadaan Jungkook yang seperti itu, tampaknya melanjutkan percakapan ini bukanlah pilihan yang bagus. Pada akhirnya justru malah akan memperburuk kondisinya.

Sungguh, ini adalah hari yang berhasil membuatku sakit kepala.

"Aku mau pulang," ucapku pada akhirnya.

Pemuda itu mengangguk. "Eum."

Aku mengambil tasku dari sofa dan beranjak pergi setelah berkata dengan tegas, "Kuharap kau tidak mengatakan hal itu pada eomma."

Kututup pintu ruangan Jungkook dan berjalan keluar meninggalkan ruangannya. Mungkin lain kali aku akan membahas hal ini lagi. Kalaupun ada orang yang memperlakukannya dengan tidak baik, itu sedikit tidak mungkin karena kami baru saja pindah dan Jungkook sendiri pernah bilang bahwa ia belum memiliki teman selama di Seoul.

Untuk saat ini aku memang harus menyelesaikan apa yang terjadi, bertanggung jawab atas semuanya karena aku adalah anak sulung dalam keluarga ini. Namun aku tidak begitu yakin untuk beberapa tahun ke depan karena mungkin saat itu aku sudah menikah dan tidak memiliki cukup banyak waktu.

Begitu sampai di luar rumah sakit, aku disambut oleh angin yang menghembuskan dedaunan kering dari rantingnya. Seakan menghiburku yang sedang lelah karena mengalami berbagai hal hari ini.

Bibirku tersenyum begitu melihat taksi yang berhenti tepat di pinggir jalan, membuatku senang karena tidak perlu berjalan lebih jauh lagi untuk sampai ke halte bus. Namun begitu aku berlari kecil menghampiri taksi tersebut, pandanganku tak sengaja melihat seorang gadis yang tampak familiar.

Langkahku terhenti, dahiku mengernyit. Gadis itu tidak lain adalah Hye Su. Hantu yang seharusnya saat ini berada di rumahku, kini justru berdiri tepat di seberang jalan, rambut panjangnya yang bergelombang tampak bergerak oleh hembusan angin.

Aku sedikit ragu begitu memperhatikan pakaian yang ia kenakan, kali ini ia memakai mantel, sepatu, tas dan riasan yang membuatnya tampak begitu berbeda.

Kupikir aku salah lihat, namun setelah kuperhatikan kembali, aku sangat yakin bahwa apa yang aku lihat tidaklah salah. Aku bertanya-tanya, darimana Hye Su mendapatkan semua itu, sedangkan selama ini ia selalu memakai dress pendek berwarna putih.

Apa ia juga memiliki kemampuan untuk mengubah pakaian dan riasan yang ia pakai?

Sesekali gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat kendaraan yang melintas. Cantik, itu kata yang terlintas di pikiranku saat melihatnya. Namun begitu tanpa sengaja tatapan kami bertemu, ia sontak membelalakkan matanya. Membuatku jadi ikut terkejut.

Karena ia sudah melihatku, kuputuskan untuk melambaikan tangan padanya, namun respon yang ia tunjukkan justru membuatku sedikit tersingkap. Hye Su malah terlihat ketakutan.

Dari kejauhan, tampak gelagatnya yang kebingungan, kakinya bergerak mundur perlahan sebelum akhirnya sebuah bus melintas menghalanginya dan begitu benda tersebut berlalu ia sudah tidak ada di sana.

●○●

Halo.. ketemu lagi~
Long time no see hehe.. semoga suka ya, makasihh

-gsl-

Magic TrainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang