1. kepedihan

258 81 3
                                    

*



Seseorang melempar tas Laily, membuat buku-buku di dalamnya keluar berserakan. Sang empu menatap jengah kepada orang-orang yang sedang merundungnya.

"Lu gak pantes sekolah di sini! Udah miskin, jelek pula!" ucap Diana sembari tersenyum sinis. Gelak tawa pecah dari mulut mereka.

"Pake seragam kucel, rambut bau, eoh!"

"Makanya, kalo mau sekolah itu mandi, atau lu mau kita mandiin?"

Laily yang duduk tersungkur di tanah hanya diam, menahan amarah, tertunduk dalam, meremas roknya.

"Kalo ditanya itu jawab!" kata Karin sembari menumpahkan air ke kepala Laily. "Ups! Gak sengaja!" lanjutnya seolah tak bersalah.

'Kebiasaan banget, nih, para monster nyiram nyiram,' rutuk Laily membatin.

Erika berjongkok, menekan pipi Laily dengan keras. "Guys, dia perlu kita make over! Supaya cantik kayak kita. Gue butuh lipstik sama mascara!" Mereka bersemirik.

Mata Laily terbelalak kaget. "Lepasin gue!" Ia melempar tatapan beringas, meronta-ronta berusaha melawan.

"Sssttt! Gak akan sakit, kok!"

Laily melengos kasar, tangannya berasa gatal berniat hendak menjambak rambut Erika. Lagi lagi Laily dibuat tak berdaya.

Secara paksa mereka melancarkan aksinya. Lipstik merah belepotan di bibir Laily dan warna hitam mascara tersebar tak karuan di wajahnya.

"Lu gak bisa diem, yah?" sentak Erika kesal karena dari tadi Laily meronta.

Sang empu mendengus. "Makanya lepasin gue!" kata Laily sewot.

Erika menghela napas. "Apa gue harus pecat Ibu lu, supaya lu diem?" tegasnya.

Ancaman itu tameng terkuat Erika, sedangkan sang Ibu kelemahan besar Laily. Andai sang Ibu tidak bekerja dengannya, mungkin sekarang Laily akan mengeluarkan jurus kiyubi ekor 9.

"Nah, kalo begini, kan, cantik! Udah kayak penjual baso borax, haha!" Erika tertawa terbahak-bahak.

Karin menatap geli. "Uuu, pasti cowok-cowok langsung gercep pas liat lu! Gercep menjauh maksudnya."

Diana tersenyum picik. "Lu lemah, kan? Gak bisa ngapa-ngapain?"

Laily membuang muka, paru-parunya seolah menyempit, sesak. Ia menyeringai. "Bukan gue, tapi kalian yang lemah!" ujarnya membuat mereka mengernyit tak mengerti.

Laily mendongak menatap satu persatu mata mereka penuh kebencian. "Kalian ngerasa kalah, bahkan tersaingi. Terus akhirnya ambil kesempatan ini karena gue udah gak satu sekolah sama Rafael, kan? Supaya kalian puas bisa hancurin gue sama mamah?" Pandangannya memburam.

Mereka bungkam, Diana yang hendak melawan langsung ditahan oleh Erika.

Laily berdiri, sehingga mereka sedikit termundur. Ia mengusap wajahnya, gusar. "Erika! Lu yang ngerasa kalah karena gak bisa dapetin Rafael dulu. Jelas sebab gue, Rafael menjauh dari lu!" Laily menunjuknya, berkata tajam.

Padanganya beralih ke gadis yang berada di samping Erika. "Diana yang selalu kalah, sebab gak bisa nyingkirin gue dari peringkat satu berturut-turut."

Terakhir, ia menatap Karin tajam. "Dan Karin yang tersingkir selalu gagal ngalahin gue pas lomba matematik!" ucapnya bangga.

Mereka melotot, hanya tersenyum sinis tak bergeming. Dibuat bungkam oleh sosok Laily yang tengah mengeluarkan semua unek-uneknya.

"Padahal kalian punya segalanya! Keluarga lengkap, hidup mewah, bergelimang harta. Namun, kalian tetap kalah hanya karena seorang gadis miskin yatim? Cih, memalukan!" sarkas Laily mencibir.

SAVIORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang