Antidote|1

455 85 12
                                    

Antidote-Kang Daniel

Hallo, cerita ini ditulis oleh aku Siirum131 hehe

Senang bisa menulis lapak day dream lagi, semoga cerpen yang ini related sama kamu yaa, si tulang punggung keluarga.

Happy reading
🌻
🌻

"Jihan, kayaknya kamu manusia paling sibuk deh. Jangan salahin kita ya, kalau ada acara lagi, nggak kita ajakin."

Aku memejamkan mata. Sedikit menyesalkan keputusanku yang selalu 'tidak bisa' ketika teman-temanku mengajak main atau nongkrong setelah kelas selesai. Aku mau, siapa sih yang enggak mau punya banyak teman, hidup santai tanpa harus berpikir bagaimana caranya supaya besok tetap hidup?

Sayangnya, aku enggak bisa. Aku enggak bisa seperti mereka yang hidup tanpa kekhawatiran tentang banyak hal. Namaku Jihan Askira, mahasiswi semester enam yang sebisa mungkin mempertahankan diri dari kerasnya kehidupan.

Kerasnya hidup yang membuatku nyaris tidak bisa bernapas meski hanya lima menit. Siang selesai kuliah, aku kerja sebagai pelayan kedai kopi hingga pukul sebelas malam. Setelah itu, aku akan sibuk mempersiapkan pesanan hampers yang kutekuni melalui marketplace.

Ketika menyalin pesanan dan merangkai hampers, aku biasanya baru akan tidur pukul tiga pagi, kemudian pukul lima pagi bangun untuk masak dan memastikan seluruh anggota keluargaku sudah sarapan. Aku anak sulung dari dua bersaudara, hanya saja aku dan adikku beda Ayah.

Ibu menikah lagi dengan Ayah tiriku sewaktu aku SMP. Kemudian lahirlah Bagas. Sewaktu lulus SMA, Ayah tiriku berkata tidak bisa membiayai biaya kuliahku. Selain karena Ibu sudah sakit-sakitan, adikku Bagas juga memiliki penyakit yang lumayan serius dan harus rutin minum obat.

Keadaan yang membuatku tidak lagi bisa memilih selain kerja paruh waktu untuk membiayai kuliahku, untuk makan dan membantu Ayah membeli obat untuk Mama dan Bagas.

Aku didewasakan oleh keadaan, tidak boleh tumbang meski punggungku rasanya panas dan gemetar.

Capek? Jangan ditanya. Yang bisa kulakukan hanya menangis diam-diam di balik meja barista jika suasana hatiku sedang tidak baik seperti sekarang.

"Kakak pulang malam? Lampu rumah mati, Kak. Di cabut karena kata Mama tiga bulan ini listriknya belum dibayar." Suara Bagas di seberang sana terdengar lirih saat menelponku. Dia jelas sedih, sementara aku harus berpikir cepat bagaimana caranya memiliki uang enam ratus ribu malam ini.

"Kakak, Bagas nggak suka gelap."

Lagi, suara Bagas terdengar gemetar.

"Iya, malam ini kakak bayar. Kakak masih kerja, Gas," ucapku menghibur adik laki-lakiku.

"Kakak ada uangnya?" kembali Bagas bertanya sesuatu yang membuat mataku panas.

Aku enggak punya uang, di dompet hanya sisa seratus ribu yang rencananya akan kugunakan sebagai makan kami dua hari ini dan ongkos.

"Ada, nanti kakak bayar. Kamu jagain Mama, ya!" pintaku kemudian di jawab Bagas dengan persetujuan.

Di balik pintu bakery, aku mengusap air mataku cepat-cepat agar tak ketahuan sedang menangis di depan Mbak Kris, dia salah satu pembuat kue dan cookies andalan di kedai ini.

"Di luar rame banget, Han. Kata Rama kamu disuruh keluar," ujar Mbak Kris ketika kami bertemu pandang dan aku berusaha tersenyum untuk menutupi keadaanku.

"Iya, mbak," jawabku masih dengan senyum. "Ada telepon dari Bagas tadi."

"Dia sehat kan?"

Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan Mbak Kris. Di tempat ini, yang paling dekat denganku memang hanya beliau. Dia tahu keadaanku dan bahkan sering menjadi tempatku meminjam uang tiap kali kepepet. Tapi tidak untuk malam ini, minggu kemarin aku meminjam uang juga dan belum ku kembalikan karena menunggu waktu gajian.

Day DreamWhere stories live. Discover now