18. Apa ini termasuk kekurangan

17 1 0
                                    

"Cinta paling indah itu ketika kita bisa menjadi diri-sendiri tanpa takut dihakimi saat bersamanya."

***

Jani terdiam di tempat, terkejut. Dia kira tak akan ada jawaban atas pertanyaan terakhirnya. Sampai tangan itu membawanya mengantre di kasir dan suara mesin penghitung berbunyi barulah dia sadar akan dunianya.

Melirik ke bawah, masih, Andra masih memegang tangannya. Jantung Jani berdetak diluar batas normal sebisa mungkin dia menahan senyum. Tidak! Tidak boleh dia sampai terlalu melayang. Ayok Jani sadar! jeritnya dalam hati.

"Totalnya 225.000," kata kasir sambil memberikan keresek belanjaan.

"Maaf?" ucapnya kebingungan melihat dua kartu ATM di hadapanya.

"Pakai punya saya, Mbak," titah Andra.

"No, pakai punya saya aja Kak," tolak Jani semakin mengangsurkan kartu.

"Jan," ucap Andra berbalik menghadap Jani. Ketika saling berhadapan, lantas kembali berujar, "Aku yang bayar, ya."

"Nggak, aku kan yang banyak belanja," tolak Jani keukeuh.

Tahu permintaan kembali ditolak tak lantas Andra kehilangan akal. "Yaudah siniin kartu kamu," pinta Andra.

Jani tersenyum, untunglah Andra tak sekeras kepala tadi waktu berebut keranjang belanjaan. Tanpa menaruh curiga sedikitpun Jani menyerahkan kartu ATM pada Andra.

Lima detik kemudian Jani melongo, sial dia kena tipu. Bukan kartu Jani yang dipakai untuk membayar melainkan kartu Andra.

"Nih." Andra menyerahkan kartu kembali setelah proses pembayaran selesai.

"Nggak sama pulsanya mas? Kami juga lagi ada diskon roti delapan ribu dapat dua," tawar Mbak kasir.

Jani sudah melirik waspada jangan sampai tiba-tiba dia punya saingan baru.

"Tidak. Terima kasih." Fiuh untung saja Andra menolak. Tak jadilah dia nambah saingan. Berabe kalau iya.

Selesai dengan semua belanjaannya mereka berdua keluar dari minimarket. Sepeda mulai melaju pelan, namun perlahan kian cepat ketika tetes air mulai jatuh. Perlahan tapi pasti hujan itu kian deras.

"Jan neduh dulu ya." Sepeda mulai menepi hingga akhirnya benar-benar terdiam di depan sebuah toko yang sudah tutup, beruntung sebuah bangku tersedia di depannya.

"Basah...," Jani mengusap air yang menempel di baju lalu kembali berujar, "dan hujan." Dia menatap jauh, jauh seakan semuanya tak terbatas lantas menatap dirinya sendiri tersenyum getir.

Membawa kantong belanjaan Jani menghampiri Andra lantas duduk sebelahnya kantong belanjaan di letakkan di tengah. Tangannya merogoh keresek mencari es cream dengan cone itu.

"Mau?" tawar Jani.

"Nggak kamu makan saja." Jani mengedikkan bahu mendengar penolakan Andra. Yasudah lah, saat tengah menjilat es cream dia teringat sesuatu Jani menggigit bibir agak malu mengatakannya.

"Ndra," panggil Jani, dia memutuskan mengungkapkan saja daripada harus mati penasaran. Andra menoleh dengan senyum tipis. Ganteng banget, apalagi tatapannya itu loh, jerit Jani dalam hati.

"Em, itu-itu loh yang tadi."

"Yang mana?"

"Pas di supermarket."

"Yang ibu tadi?" tanya Andra dahi mengerutkan kening.

"Bukan." Jani menggigit bibir bawahnya. "Yang pas kamu bilang 'bantu aku cari defnisi cinta' itu ... bener?" Rasa lega bercampur malu kini hinggap di hatinya. Sekarang saatnnya dia menanti jawaban jantungnya kini berdetak tak semakin abnormal kala Andra mengatakan,

Behind YouOnde histórias criam vida. Descubra agora