#40. (Do i?)

1.1K 84 15
                                    

Mood author lagi ena, jadi agak panjangan.
Happy reading. ^^

›-----------------------‹



Hari itu menjadi hari terakhir kegiatan pengenalan lingkungan kampus. Eric dibuat penat. Pikirannya tak karuan dan kini secara fisik ia dibuat tak bertenaga. Ingin sekali ia tak memusingkan. Putaran - putaran yang terus bergerak dalam otaknya seakan terus menarik dirinya untuk ikut disana. Beradu argumen, bercakap dengan diri lain dalam otaknya.

Untuk beberapa saat ia terdiam. Terududuk di tepi ranjang, tak mendapati sosok teman satu kamarnya. 'Ia sedang mandi.' pikirnya. Berikutnya ia tarik napas dalam, dihembuskan perlahan berharap semua hal yang menganggu pikirannya ikut keluar bersamanya. Beberapa detik dan kini ia lagi - lagi kehilangan kesadaran. Bersama dengan sunyi yang merayap, merambati pikirannya yang mendadak kosong. Dan lalu tiba - tiba dimunculkan lagi hal - hal itu. Eric melamun.

"Aku rasa sejak pertama kita berkenalan, kau jadi makin diam belakangan. Dan pekerjaanmu hanya melamun, melamun seolah tak ada yang lain. Hal apa yang selalu membuatmu melakukannya huh?"

Eric menoleh mendapati sosok itu kini sudah berada di sampingnya. Dengan sedikit kikuk, lantas Eric mengulum senyum. Entah untuk apa tetapi tiba - tiba ia melakukannya. Lelaki di sampingnya bingung. Dia berucap.

"Jadi kau tak mendengarku?" diikuti dengusan pelan, lelaki itu memalingkan wajah. Memberi sedikit jarak lebih dari posisi keduanya. Entah sejak kapan mereka menjadi akrab begini. Eric terkekeh pelan. Lantas ia bangkit dan berpindah pada single chair yang berada tepat dihadapan. Ia duduk menghadap Skye, lelaki putih teman sekamarnya.

"Aku benar - benar baik. Kau tahu, aku hanya sedikit-mungkin banyak memikirkan sesuatu yang makin mengganjal. Dan aku pikir seiring berjalannya waktu, semua akan baik - baik saja."

"Masalah yang tidak terselesaikan dengan baik takkan membawa ketenangan. Baik kini ataupun nanti."

Dengan pikiran dalam, perlahan wajah Eric berubah sendu. Dalam benak pikirannya ia merasa itu benar. Perkataan Skye adalah sesuatu yang cukup benar ia rasa. Masalah ini, masalah dirinya dan Evan belum menemukan secercah titik terang. Benang yang awalnya tergulung rapi entah mengapa kini saling tertaut mengikat tanpa diketahui ujung dan pangkal. Lagi - lagi ia dibuat berpikir mengenai semua yang ia lalui hingga saat ini. Evan yang bertegar hati terus mengejarnya, dan dia yang bertingkah berharga diri menolak mentah - mentah yang sudah dipatri. Dan kemudian satu benang merah tertarik.

Dirinya.

Eric yang membuat keadaan kini dan yang sudah terlewati menjadi rumit. Penolakan. Lalu penundaan. Dan kemudian drama kepergian. Dan kini ia dibuat merasa salah sendirian. Itu semua adalah buah hasil perlakuannya pada Evan. Ketulusan yang ia abaikan. Perasaan yang tak ia indahkan. Dalam dirinya dulu, ia berpikir tabu. Tak ada pengakuan dari dirinya mengenai perasaan yang ia rasakan kini pada Evan. Kemana keangkuhan itu pergi hingga kini ia cemas Evan takkan mengejarnya lagi? Senyuman terpulas, matanya teralih pada lelaki putih yang menaruh atensi padanya.

"Kau tak perlu menanggapi serius perkataanku. Karena pada dasarnya, semua masalah memiliki jalan keluar. Bila dipikirkan alasan mengapa masalah itu bisa terjadi."

"Kau benar."


****


Eric terbangun tengah hari setelah tidur hampir dua belas jam. Ia melewatkan sesi makan pagi. Dan kini waktu menunjukkan beberapa menit sebelum makan siang dimulai.

Langkah kakinya terasa berat. Kepalanya sedikit pening, dan pandangannya tak sejelas biasanya. Ada denyutan kuat yang seolah akan membuat kepalanya pecah bila melangkah. Bahkan hanya untuk ke kamar mandi, Eric perlu berpegangan pada benda di sekitar. Ia takut terjatuh karena kehilangan keseimbangan.

Accepted [complete]Where stories live. Discover now