#28. (Hate and also Love)

2.9K 205 23
                                    

   Julia menatapi anaknya yang hari ini terlihat baik - baik saja. Tergurat senyum di bibir pemuda itu. Raut kesedihan seperti sudah lenyap dari puteranya. Kantung hitam yang menggantung sudah hilang. Bibir kering yang kemarin ada, sekarang sudah lebih segar dan merah muda. Rambut pemuda ini juga nampak rapi. Tersisir ke depan, membentuk poni yang menutupi dahi.


    Dua lembar roti dengan isian telur mata sapi sedang disantapnya. Beberapa gigitan, lalu Eric berhenti. Dari luar terdengar suara mobil terhenti. Lalu seseorang muncul tak lama setelahnya. Setelah jas hitam, serta sepatu dan rambut yang tertata rapi. Senyum terumbar dari bibir lelaki yang mulai mendekat itu. Eric sesaat terpana, lalu sadar cepat - cepat memalingkan wajahnya. Menyibukkan diri bersikap seolah tak peduli dengan kedatangannya. Evan lalu menyapa ramah Julia.


"Hai Bibi Julia."


Pria itu menyapa hangat. Senyuman terukir. Julia mengangguk, lalu mempersilahkan Evan bergabung. Mereka bertiga mengobrol hangat. Evan asik bercengkrama dengan Julia, sembari menyesap kopi hitam yang dibuat untuknya. Wanita tua itu nampak senang atas kedatangan Evan. Hanya saja, lelaki di sisi lain meja masih tak bisa jujur atas yang sebenarnya.


Ia bertingkah tak peduli dan tak acuh atas kehadiran Evan.


"Kau akan di antar Evan."
"Dan mama dengan senang hati mengijinkannya."


Tatapan Eric bergantian pada Mommy nya dan Evan. Dia dibuat tak percaya atas ucapan Mommy nya ini. Apa dia tak marah? Apa dia tak benci? Karena lelaki ini, kontrak antara perusahaan Daddy nya harus dibatalkan. Apalagi penyebabnya? Tentu karena masalah pribadi ini.


"Aku punya dua tangan. Lagipula aku bukan anak kecil yang sampai harus diantar seperti ini." ucap Eric agak menyindir. Dia memalingkan wajah, memasangkan earphone di sisi kanan telinganya. Saat hendak berbalik, tubuhnya disentuh oleh seseorang. Ingin tak menghiraukan, tiba - tiba Julia bersuara.

 
"Mommy tak menerima alasan apapun. Kau harus berangkat dengan Evan."

 
"Tap—!"


"Psst! Daddy mu bisa memindahmu ke luar negeri dan membuatmu tinggal di asrama jika kau terus melawan."


"OK! Fine!"


'Kenapa aku menerimanya?'
 

  Julia tersenyum puas. Wajah anak lelakinya itu nampak gusar dan sedikit tak senang. Eric memalingkan badan. Menghindari bertatapan dengan Evan. Dia sama sekali tak menginginkan hambatan. Dia belum sempat melangkah maju, tapi dilangkah pertama dia sudah melihat duri yang jelas bisa menusuk kakinya.


Kebohongan ini, dia ingin melupakan dalam keadaan masih mencintai.



***

 

  Semenjak keluar pelataran Kediaman Smith, hanya suara dari radio yang terdengar. Mulut dua lelaki yang duduk bersebelahan itu masih tak bersuara. Tidak ada obrolan. Eric juga enggan untuk bercengkrama dengan Evan. Bukan gengsi atau semacamnya, Eric masih tak bisa menerima fakta. Banyak kebohongan yang terjadi. Lelaki disampingnya jadi dalang utama. Dan dirinya lah yang jadi korban atas rencana ini. Perasaan yang sempat muncul setelah tinggal bersama, Eric biarkan layu. Mungkin ia hanya butuh sesuatu yang lain, agar rasa itu tumbuh lagi.
 
..

 
"Eric..."

 
"Hm?"
 
 
"Make up mu terlalu tebal."
 
 
Mata Eric membulat. Ia memalingkan wajah cepat, menatap keluar kaca jendela. Evan hanya terkekeh pelan. Lalu menepuk bahu Eric. Eric menahan agar wajahnya tak ikut merona. Tapi semua itu sia - sia. Evan lagi - lagi memergokinya.


"Dan sekarang wajah bahkan telingamu merona."


Eric makin tak kuasa menatap atau melirik pada lelaki di seat sebelah. Padahal ia tak berniat untuk meladeni lelaki ini. Tapi apa? Dia terbawa suasana sekarang. Lemah sekali Eric, bisa meleleh bahkan hanya dengan kata - kata random dari Evan.


'Stop! You have to stop this!'


"Berhenti menggodaku!"

 
"Kau terlihat menggemaskan saat marah."

...
 
"Hey Eric!"
"Kita sudah sampai."

 
'Aku berkhayal?'

Dirasakan guncangan pelan di bahunya. Eric menggelengkan kepalanya pelan. Lalu menoleh pada lelaki yang mungkin sedari tadi menatapinya. Evan terlihat heran. Sebelah alisnya terangkat. Khawatie juga terlarut di wajah lelaki disamping Eric itu. Tak acuh, Eric langsung membuka pintu mobil. Saat kakinya hendak melangkah turun, Evan menahan tangannya. Cengkraman yang terlalu kuat, Eric tak bisa melepaskannya. Ia menoleh, gestur wajah datar ia tampilkan.

 
"Ada apa?!"

 
"Mendekatlah."


"Tidak."
"Dua orang asing tak sepantasnya bertindak demikian. Mencuri ciuman dari seorang pria lajang, kau akan terkutuk karena itu."

 
"Kau berharap aku mencuri ciuman darimu?"
"Aku tidak berniat demikian."
 
 
"Oh."

Accepted [complete]Where stories live. Discover now