22. HAVE A GOOD DIE

240 25 16
                                    

“Kamu percaya kalo setelah mati, bakal ada kehidupan selanjutnya?”

Si perempuan bertanya. Dan mendapat gelengan dari si laki-laki. “kalo sekalinya ada, saya nggak mau menjalani kehidupan untuk yang kedua kali. Hidup yang sekarang aja rasanya pengen cepet-cepet diakhiri.”

“Tapi kan di kehidupan selanjutnya kita bisa memperbaiki dan menata ulang hidup yang mungkin sebelumnya masih berantakan.”

Si wanita bersikukuh, meyakinkan sang pria untuk percaya akan kehidupan selanjutnya. Tapi si pria juga sama keras kepalanya.

“Bagus kalo ada kesempatan, tapi kalo di sana kita cuma mengulang hidup yang sama gimana? Saya cuma merasa kita nggak bisa melewati masa-masa sulit itu lagi.”

***

Untuk saat ini, dia ingin percaya akan kehidupan selanjutnya. Menaruh ekspetasi tinggi kalau dia bisa memperbaiki dan melakukan semua yang belum sempat dilakukan.

Begitu sebuah benda menghantam tubuhnya dengan kecepatan tinggi, juga tenaga penuh. Mendadak, dia tidak ingin mati. Dia ingin hidup.

Tolong, jangan sekarang,
saya masih punya wanita,
yang harus saya jaga.

Sedangkan manusia di seberang jalan, berdiri mati kutu. Bak raga yang kehilangan jiwanya. Masih berusaha mencerna dan memproses kejadian yang baru saja dilihatnya.

Pria berpayung itu sedang berjalan ke arahnya, dengan senyum yang mengembang bak berisi sejuta harapan. Tapi sebuah mini bus datang menerjang tubuh tegap itu, membuatnya terlempar sekian meter, dan langsung tergeletak tak berdaya.

Dengan jiwa dan tenaga yang masih tersisa, Yeri mulai mengambil langkah, sembari menguatkan hati untuk menghampiri Hans.

Tapi itu sangat tidak mudah.

Tubuhnya terjatuh, kedua kakinya juga tidak kuat lagi bertumpu. Begitu dia mendekatkan diri pada tubuh Hans yang sudah terkulai lemah.

Dadanya terasa nyeri bukan main. Dia tidak bisa bernapas, paru-parunya terasa sakit, menghirup udara dingin menyengat karena guyuran hujan.

Perlahan, Yeri menangkup wajah Hans dan mengusap wajah pria itu dengan gemetar. “Hans, can you hear me?!” Dia berujar, sembari menaruh harapan kosong untuk mendapat jawaban.

Menunggu respon dari Hans, Yeri menangis terisak, tapi di detik berikutnya dia mulai terkekeh kecil. “Hans, nggak lucu deh pura-pura tidur di sini, lagi hujan juga!” ujarnya, membuang akal sehatnya jauh-jauh, karena sekarang yang ingin dilakukan hanya menolak percaya.

“Hans, please jangan perlakukan saya kayak begini! Saya nggak suka! Saya nggak terima!”

Kemudian, terdengar suara sirine ambulans. Mobil itu datang, memberikan secercah harapan, kalau Hans masih bisa diselamatkan. Yeri beranjak berdiri, begitu tubuh lemah Hans dipindahkan ke atas tandu dan dibawa masuk ke dalam mobil.

Sebelum ikut serta, Yeri melihat ke arah toko tempat Hans membeli payung sebelumnya dan melihat beberapa orang memperhatikan. Dia membungkukkan badannya, mengucapkan terima kasih secara tidak langsung. Kalau sekiranya, mereka yang memanggil ambulans untuk datang, di saat dirinya tidak bisa berpikir dengan tenang.

Tapi, agaknya.

Sang Kuasa terlalu mendambakan, juga terlalu merindukan salah satu manusia-Nya untuk segera pulang ke pangkuan.

Malam itu hujan deras. Udara dingin menyeruak. Sedangkan Yeri merasa sesak dan tidak bisa berhenti terisak.

“Selamat tidur, Hans. Have a good die and see you when I see you.

Semesta lagi-lagi mengambil sesuatu yang begitu berharga dari sisinya. Apa memang dirinya tidak sepantas itu untuk berbahagia? Atau memang semesta sudah mati rasa?

***

Setelah pemakaman Hans selesai. Yeri pamit kepada sanak keluarga, juga teman-teman Hans yang lain. Dan langsung bergegas pergi dengan mobil Hans yang baru saja dibeli.

Senyum kecil terukir. Yeri tidak bisa menyuruh otaknya untuk berhenti memutar ulang memori, walaupun sepertinya sudah terpatri di hati.

“Ayo naik, siapa yang jadi penumpang pertama nanti duduknya bukan di samping kursi pengemudi lagi, tapi langsung di samping mempelai laki-laki!”

Begitu, kata Hans saat baru saja membeli mobil baru setelah  menabrakkan diri ke pohon.

“Nih Yer, saya kasih kunci cadangannya. Biar kamu bisa pake juga. Maaf ya, kunci mobil dulu. Kunci rumah buat kita membina rumah tangga belum ada.”

Sepanjang perjalanan, kepala Yeri hanya memutar kembali kejadian-kejadian di hari kemarin. Hari-hari di mana pria itu masih ada dan nyata. Sampai tidak terasa, dia sudah sampai di tujuannya.

Yeri pun turun, lalu sedikit mendongakkan kepala untuk melihat bangunan yang ada di hadapannya kini. Dia pun melangkah masuk dengan perlahan. Mengitarkan pandangannya untuk meneliti setiap sudut ruangan, yang entah mengapa membarikan ketenangan.

Kakinya terus mengambil langkah, setapak demi setapak. Sampai akhirnya berhenti di depan papan, berisi penjelasan akan bangunan ini.

“Kapel Doa Pengelana. Dibuat sebagai tempat istirahat bagi pengelana yang lelah untuk berhenti dan beristirahat dalam perjalanan. Itu dibangun sebagai tempat penyembuhan.”

“Kita mengenang orang-orang yang sudah tiada, yang di ambil dari kita terlalu dini, dan yang akan selalu kita simpan di dalam hati.”

Yeri membaca rangkaian kalimat itu dengan seksama dan pikiran penuh akan seseorang. Kemudian, dia langsung mengambil posisi duduk di salah satu kursi panjang yang tersedia. Lalu memanjatkan doa di sana.

“Hans, sampai jumpa di kehidupan selanjutnya. Saya mohon, jangan lupakan saya untuk yang ke sekian kalinya.”

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

Special thanks :

Terima kasih banyak untuk teman-teman yang sudah menyukai cerita ini, mengikuti cerita ini, dan membacanya sampai akhir!

Terima kasih banyak!

Sampai berjumpa lagi~

Sampai berjumpa lagi~

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Love in Bipolar ( ✔ )  Where stories live. Discover now