💌 Kesempatan Untuk Irene

772 189 129
                                    

6.

KESEMPATAN UNTUK IRENE


Sudah lebih dari seminggu, Irene menghindari sosok Vino. Tidak pergi ke kantin, apalagi melewati lorong kelas pemuda itu. Ia malu berat melakukan yang tak seharusnya ia lakukan kepada yang mulia El Vino Atmadja.

Bagaimanapun, nasi sudah menjadi bubur. Irene telanjur terbawa suasana, geregetan sekali melihat wajah jutek Vino, hingga jemarinya pun lancang menyentuh wajah itu demi menghadirkan senyum di sana.

Irene tak mengerti. Jelas-jelas senyum lelaki itu menawan, kenapa malah disia-siakan?

Kenapa Vino justru menyembunyikan senyum indahnya dari dunia?

"Hah? Ya ampun! Gue mikir apa barusan?!" gumam Irene seraya menepuk-nepuk pipinya yang tak bersalah.

Irene mulai berteriak dengan suara tercicit, "Ih, Irene bangun, bangun, bangun! Kok lo jadi kepikiran Vino terus, sih? Huaaa... seram banget, ada apa dengan gue?! Huhuhu... Sena, ini semua gara-gara lo! Tanggungjawab, Senaaa!"

Tepukan Irene seketika berhenti, lantaran seseorang sudah menahan tangannya.

"V-Vino?!"

Vino menggelengkan kepala, "Kasihan pipi lo. Daripada ditampar, lebih baik diusap seperti ini," ujarnya, perlahan-lahan membelai pipi Irene yang sontak bersemu.

Demi apapun, Irene mau pingsan di tempat.

Tak pernah terbersit di benak Irene, bila El Vino Atmadja akan memperlakukannya selembut ini. Terlebih lagi, Vino pun melemparkan senyum padanya. Seulas lengkung indah yang mengandung gula dan alkohol. Begitu manis dan memabukkan, Irene jadi kecanduan.

Irene sampai lupa bagaimana senyum Kak Zayn, lantaran senyum Vino sukses memonopoli isi pikirannya akhir-akhir ini.

"Eh?"

Vino segera menjauhkan tangan. Sikap kaku dan tatapan tak berekspresi Irene seakan-akan menamparnya. Ia langsung tersadar jika perbuatannya tak sopan dan sudah kelewatan.

"Maaf, gue udah lancang pegang-pegang lo."

"Nggak apa-apa, kok—" Irene menggeleng berkali-kali. "Ih, kok gue kesannya kayak senang dipegang-pegang dia?" pikirnya. Ia ganti mengangguk. "Eh, tapi kan gue duluan yang lancang sentuh-sentuh dia waktu itu?" batinnya. Ia kembali menggeleng. Terus begitu selagi batin dan pikirannya sibuk beradu.

Sampai-sampai, Vino tak bisa menahan tawa lagi. Ia tergelak. Walaupun samar-samar, tetapi efek yang diberikan tidak main-main.

Irene kian tak berkutik, menyaksikan Vino tertawa lepas di bawah pancaran sinar matahari yang bagaikan lampu sorot sedang menerangi sang pemeran utama lelaki dalam sebuah drama. Pertanyaan Irene sekarang: apakah ia sang pemeran utama wanita atau sekadar pemeran pendukung saja?

"Kenapa ketawa?"

"Karena lo lucu."

"Hah?"

Sebentar. Kenapa ia seperti penjual keong? Hah hoh hah hoh.

"Sekali lagi maaf buat yang tadi," Vino menunjuk sepasang pipi yang masih bersemu.

"Ah, iya," Irene membiarkan maniknya bertaut dengan netra gelap itu, "Gue juga mau minta maaf. Waktu itu, gue sentuh lo tanpa izin."

Vino tersenyum simpul, bikin Irene jadi terheran-heran. Kenapa pemuda itu mendadak jadi murah senyum?!

"Lo menghindari gue?" tanya Vino tiba-tiba.

GARA-GARA SENADA!Onde histórias criam vida. Descubra agora