1

192 35 24
                                    

Lee Jihoon adalah anak yang istimewa. Dia bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat manusia pada umumnya. Namun, berbeda dari kemampuan indera keenam yang biasanya bersangkut paut dengan hal-hal paranormal, Jihoon melihat sesuatu yang jauh lebih menakjubkan dari spektrum hologram sisa-sisa kehidupan yang sudah tiada.

Yang ia lihat justru dunia paralel yang lain, di mana manusia mini bersayap tipis terbang bebas di udara, saling berlomba melewati orang-orang yang sibuk beraktivitas di jalanan. Dunia di mana paus berkulit neon melayang di langit-langit, dengan hempasan siripnya yang mampu menciptakan embusan angin sejuk. Juga di mana hewan berbicara sesuka hati mereka—mulai dari ulat di daun hingga naga di ujung bukit—masing-masing mengeluhkan betapa bodohnya manusia di bumi.

Sewaktu kecil, Jihoon belum terbiasa dengan semua itu dan menganggap kalau semua orang bisa melihat mereka. Dia dianggap aneh dan memiliki masalah dengan kemampuan mengendalikan imajinasinya. Tapi semuanya memang nyata. Peri, kurcaci, naga, putri duyung, bahkan centaur berkepala lebah pun ada. Namun Tuhan sepertinya hanya memberikan berkat limited edition itu pada Jihoon seorang.

Semakin bertambahnya usia, Jihoon mulai memahami satu hal. Tidak akan ada yang percaya jika dia berusaha membuat orang lain percaya. Tingkat rasionalitas manusia membuat mereka buta akan dunia yang sesungguhnya, membuat mereka tidak mengerti seluas dan seunik apa dunia itu. Ilmu pengetahuan masih terbilang cukup sempit untuk membuktikan keberadaan dunia paralel yang bahkan filsuf tak dapat menjabarkannya.

Malah mungkin jika Socrates diberi berkat, dia lebih memilih berbicara dengan kumbang daripada manusia yang tumpul otaknya.

Jadi, sudah Jihoon putuskan. Lebih baik dinikmati sendiri saja, sambil diam-diam mengkritik pedas dongeng fiksi yang salah kaprah menceritakan tetek bengek dunia fantasi ini.

Hingga ia dewasa, Jihoon tak pernah benar-benar mendalami kemampuannya. Sekalipun bibi kurcaci yang tinggal di gorong-gorong rumahnya memberikan banyak sekali saran dan informasi, Jihoon tetap tidak tertarik. Lagi pula, apa bedanya? Semakin dipaksakan orang lain akan semakin menyangkanya gila, tidak waras, dan tukang mimpi.

"Biar saja," kata Jihoon waktu itu. "Aku sudah tidak peduli lagi."

Dia sudah menyerah. Memaksa orang yang berpikiran tertutup untuk berpikiran terbuka jauh lebih buruk dari menggosok gigi troll dewasa. Kalau diibaratkan, keras kepalanya manusia itu sama seperti kulit cabai yang terselip di antara gigi. Kalau tidak dicungkil pakai benda tajam bakal sulit dihilangkan.

Dan berhubung Jihoon juga tak mungkin mencungkil kepala orang pakai pisau dapur atau celurit, dia pun memilih hidup dengan normal, mengabaikan segala hal dan beraktivitas seperti manusia pada umumnya.

Keadaan berjalan dengan cukup baik dan lancar. Ia berinteraksi dengan makhluk asing hanya di sekitar kompleks rumahnya saja. Lebih dari pembatas garam, maka Jihoon tak akan ambil pusing bertegur sapa, sekalipun ada anjing imut yang suka sekali pipis di depan gang sambil menyanyikan lagu Who Let The Dog Shout, tapi kata shout diganti dengan kata pee.

Tapi semua berubah saat negara api menyerang.

Jihoon sedang beristirahat sejenak untuk melepas penat dari pekerjaannya yang menggunung. Ia memilih menikmati waktu tenangnya sendirian dengan duduk di bangku taman, ditemani ice americano dan semilir angin sore yang sejuk. Dilihatnya sekumpulan pixie yang dengan sombongnya duduk di dahan pohon sambil mencemooh siapa pun yang lewat, termasuk lebah gemuk yang terlihat mabuk berat.

Suara mereka yang nyaring dan bernada tinggi seringkali membuat telinga berdenging menyakitkan. Berbeda dengan fairy, pixie bukan termasuk dalam makhluk bersayap yang manis dan indah, sekalipun berembel-embel peri. Mereka agaknya tidak terbang menggunakan sayap, tapi dengan serbuk keemasan yang kadang suka membuat orang bersin tanpa sebab. Mulut mereka pedas, namun sarat akan kejujuran dan fakta.

Horanghae! | Soonhoon [✔]Where stories live. Discover now