BAB 1 Pernikahan

215 14 1
                                    

Happy reading

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Sabitha Radka Bin Rifai dengan maskawin tersebut dibayar tunai."

Suara lantang itu memenuhi kamarku. Seketika aku merapatkan kelopak mata yang terasa sangat berat saat mendengar kata 'sah' dari beberapa orang di ruang keluarga yang berada telat di depan kamarku.

Sesuatu dalam diriku seperti berontak dan menciptakan hawa panas di sekujur tubuh. Sesak yang menyiksa kian berkumpul membentuk bulir-bulir yang terkumpul dan menganak sungai.

Bukan. Ini bukan tangis haru. Bukan juga tangis bahagia.

Bagaimana mungkin aku terharu jika lelaki yang menikahiku adalah orang yang sama yang menghancurkanku.

Hiasan-hiasan sederhana yang terlihat sangat manis tidak bisa menghiburku saat ini. Pikiran-pikiran buruk, kekhawatiran, dan ketakutan memenuhi kepalaku. Berat yang ditimbulkan dari berbagai hiasan pada jilbabku terasa semakin kuat karena pikiran-pikiran itu.

Saat membuka mata, aku melihat sepasang kaki dengan pantopel hitam berada didepanku sejauh 1 meter. Posisiku yang duduk di pinggir ranjang memudahkan melihat dengan jelas jenis sepatu yang dikenakan.

Berapa lama aku berkutat dengan pikiranku sampai aku tidak menyadari ketukan ataupun bunyi pintu terbuka? Dan pertanyaan terpenting, apakah dia melihat aku menangis tadi?

Aku buru-buru menghapus cairan yang terasa lembab di pipi.

Ahhh tentu saja dia melihatnya. Ternyata air itu masih ada di sini.

Saat aku mendongak, netra kita bertemu. Tetapi aku langsung membuang pandangan kemudian. Mata itu, wajah itu, dan tubuh itu. Aku selalu melihat bayangan kejadian terburuk dalam hidupku saat melihat sosoknya. Ingin sekali rasanya bisa menatap mata itu dengan lama. Menyalurkan seberapa besar kebencianku padanya. Tetapi ketakutan ini sangatlah menyiksa.

Ku lihat kaki itu kian mendekat. Tangannya terulur untuk mengambil jemariku yang reflek aku tarik kembali. Kedua tanganku meremas selimut yang kududuki. Membentuk pertahanan akan ketakutan dan kebencian yang semakin berkumpul.

"Saya cuma mau pasang cincin ini," katanya dengan suara pelan.

Dia menarik kembali tanganku dengan hati-hati. Melepaskan genggamanku pada selimut. Tubuhnya menunduk untuk bisa melakukannya dengan benar. Ketika benda berkilau itu bertengger di jari manisku, sebuah suara memenuhi telingaku.

"Maaf," ucapnya dengan lirih.

Aku tidak berani untuk mendongak karena aku yakin ketika kepalaku menghadapnya, jarak wajah kita akan sangat dekat. Aku cuma bisa meneruskan akting menjadi patung sekarang.

"Orang-orang menunggu kita di luar," ujarnya setelah mengembalikan posisi tubuhnya. Tangannya kembali terulur, tetapi dengan maksud berbeda dengan sebelumnya.

Cukup lama aku hanya memandangi tangan itu. Sampai kata-katanya memaksaku menerima uluran tangannya, "kita perlu menandatangani berkas-berkas dan bersalaman dengan orangtua kita."

***

Acara pernikahan yang ku kira akan sangat sederhana ternyata sangat melelahkan. Banyak sekali tetangga yang hadir. Yap. Hanya tetangga, karena teman-teman sekolah dan kuliahku tidak aku undang.

Aku malu dan takut pada rasa iri yang akan muncul ketika melihat mereka.
Aku tidak menyangka takdir ternyata semengerikan ini. Seorang Fresh Graduated seharusnya sibuk dengan kehidupan barunya memulai karir dan impian mereka. Bukannya malah menempuh hidup baru dengan lelaki asing. Aku harus menikah dengan lelaki yang tidak aku kenal, lelaki yang merusak tubuh, jiwa dan semangat hidupku.

SabitahWhere stories live. Discover now