BAB 2 Tragedi

226 13 18
                                    

Niatnya update tadi malem. Tp ketiduran karna cape abis pawai hari Santri wkwk

Btw selamat hari Santri 2021~~
Santri Siaga Jiwa Raga

Happy reading

~~~

Sepertinya setelah menikah tekanan darahku akan tinggi. Belum satu hari aku menjadi istrinya, ada saja hal-hal yang membuatku kesal. Seperti saat ini. Aku dengan kesal menganduk-aduk bubur yang tak berdaya di tanganku. Suruh siapa dia membeli bubur. Bukannya tadi udah jelas kalau aku pengen makan mie ayam depan Balai Desa.

"Tadi mie ayamnya tinggal satu terus ada ibu hamil lagi ngidam jadi buat dia." katanya dengan raut memohon padaku.

"Emangnya aku nggak ngidam. Aku juga pengen mie ayam mas," rengekku mengiba padanya. Demi apapun aku geli mendengar suaraku sendiri. Semenjak hamil aku merasa sangat manja dan aku tidak suka. Tapi aku lebih-lebih tidak suka dengan sikap mas Asep. Kenapa dia nggak mikirin aku yang juga lagi hamil anak dia!

"Iya tapi mie nya habis. Nanti saya belikan besok. Sekarang makan bubur dulu terus minum obat dan tidur" titahnya dingin dengan mata tajam menghunusku.

Aku selalu takut jika dia sudah seperti ini. Akhirnya dengan terpaksa aku mengambil sesendok bubur yang sudah acak-acakan. Uhhh padahal aku tim bubur nggak diaduk! Rasanya enek lihat bubur diaduk-aduk seperti itu. Seperti sisa makanan.

Aku membenarkan anak rambut yang menjuntai menghalangi penglihatanku. Aku memang sudah menanggalkan semua pernak-pernik hiasan di tubuhku saat mas Asep keluar. Butuh waktu 30 menit untuk terlepas dari itu semua. Itu juga harus dibantu sama orang lain.

Aghh. Aku menahan rasa mual, menutup mata dan memasukkan sesendok bubur itu di mulutku. Aku berusaha menghilangkan bayangan bentuk bubur yang sudah berantakan. Aku telan bulat-bulat begitu masuk ke mulut. Aku melakukannya sampai suapan kelima. Sudah. Aku nyerah.

Ku sodorkan sterofoam bubur setengah penuh itu ke depan mas Asep. "Aku udah, mau langsung minum obat aja," akuku.

Entah setan dari mana, mas Asep tidak membantah ucapanku kali ini. Apapun itu setannya, aku sangat-sangat bersyukur akan kehadirannya. Mas Asep menaruh sterofoam bubur dan mengambilkan obat serta gelasku.

Aku buru-buru merebut obat dan gelas itu dari tangan kecoklatan mas Asep. Meminumnya dengan hati-hati sampai ketukan pintu terdengar lirih.

"Tha, Sep. Sudah tidur?" tanya Ibu dari balik pintu.

Mas Asep langsung menuju sumber suara diiringi suaranya membalas tanya Ibu, "Belum bu." Pintu terbuka. Raut khawatir Ibu begitu ketara saat dengan buru-burunya Ibu mendekati sedangkan lelaki itu memilih berdiri di dekat pintu dan memberi ruang buat kami.

"Gmn nduk? Masih sakit? Maaf ya Ibu ganggu kalian. Ibu nggak bisa tidur kalo nggak tau keadaan anak Ibu." katanya dengan raut cemas setelah mendaratkan tubuh di sampingku dan duduk di ranjang. Tangannya tidak tinggal diam, begitupun matanya untuk memeriksa setiap sisi tubuhku.

"Bitha baik bu. Tadi baru banget minum obat. Eh tapi emang boleh ya bu kalo orang hamil minum obat?" tanyaku dengan was-was. Pasalnya aku baru ingat akan 'pantangan' itu.

Ibu tersenyum mendengar pertanyaanku, "Nggak papa, itu kan dari dokter yang kemarin kamu periksa. Jadi InsyaAllah aman. Kalo obat warung jangan."

Syukurlah. Meski aku membenci mas Asep, tapi aku benar-benar khawatir dengan anak ini. Aku pernah mendengar bahwa anak itu anugerah, titipan dari Tuhan untuk orang-orang pilihan-Nya. Terlepas dari latar belakang dia ada di perutku, aku benar-benar ingin menjaga titipan ini.

Melihat wajah ibu, aku jadi teringat pada hari dimana kejadian itu terjadi. Aku yang dengan bahagianya mengantarkan nasi kuning pada tetangga-tetanggaku. Syukuran atas kelulusanku. Hari itu memang tepat 3 hari setelah acara wisudaku.

SabitahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang