BAB 3 Kemarahan

209 17 10
                                    

Happy readinggg

~~~

Saat ini sudah pagi. Aku tau itu dari suara ayam belakang rumah yang terus mengeluarkan lengkingannya. Bukan hanya itu, suara berisik dari dapur juga turut membangunkanku.

Perlahan, kelopak mataku membuka. Kain-kain dekorasi kamar menjadi pemandangan pertamaku pagi ini. Seketika aku diingatkan jika kejadian kemarin memang benar adanya. Aku sudah menjadi tanggungjawab seseorang.

Aku coba bangun dari posisi tidurku dan perlahan duduk dengan kesadaran belum sempurna. Sakit di kepalaku yang sudah mendingan memudahkanku untuk duduk. Setelahnya, aku mengalihkan perhatian pada penjuru sudut kamar yang cukup luas untuk ukuran rumah di desa.

Kemana mas Asep, tanyaku dengan bingung. Pasalnya tadi malam saat aku ingin kencing, aku lihat sendiri kalau mas Asep tidur di sini. Satu ranjang denganku. Sebenarnya ingin mengusirnya saat itu, tapi memingat kamarku tidak ada sofa atau benda lain untuk ditempati aku mengurungkan niat itu. Nggak mungkin kan aku menyuruhnya tidur di luar kamar. Hell, bisa diomelin semua saudara nanti.

Tapi bagus deh, aku jadi bisa leluasa melakukan sesuatu jika tidak ada mas Asep seperti ini.

Ku edarkan mataku sekali lagi untuk melihat jam dinding kali ini. Melihat jarum pendek diantara angka empat dan lima, mengingatkanku untuk segera bersiap menjalankan kewajiban. Padahal ini masih petang, tapi subuh di kampungku sudah lewat setengah jam.

Dengan sedikit gontai, aku turun dari ranjang dan membuka pintu. Kamar ini bukan milik orang kaya di kota yang memiliki kamar mandi dalam. Meskipun Bapak menjadi salah satu orang kaya di sini, tapi rumah kita masih memiliki arsitektur serupa dengan warga lain. Hanya lahan dan ruangan yang lebih luas yang membedakannya.

***

"Assalamualaikum warahmatullah.." lirihku sembari menengok ke kanan untuk mengakhiri sholatku. Ketika itu aku melihat seseorang membuka pintu. Aku benar-benar kaget, sampai tubuhku terlonjak. Untung sudah batal sholatku.

Bagaimana mungkin tubuh tegap berkulit coklat itu terlihat serasi dengan pakaian koko seperti itu. Kenapa mas Asep terlihat sangat tampan saat ini. Bahkan kemarin saat ijab qobul dia tidak terlihat sempurna ini. Pesona sarung memang luar biasa.

Tanpa sadar, aku menatap mas Asep cukup lama hingga membuatnya bingung. "Kenapa? Aneh banget ya saya pakai ini?" tangannya yang hanya aku jawab dengan gelengan.

Karena bingung harus melakukan apa, aku segera membalikkan kepala untuk berdzikir. Tetapi bukannya fokus, aku justru memikirkan lelaki itu. Mas Asep yang memakai sarung dan baju koko lengkap dengan peci hitam terus terbayang. Abis dari mana dia? Nggak mungkin kan dari mushola. Mana ada orang sepertinya melakukan sholat.

Sepuluh menit berlalu, aku belum melihat tanda-tanda mas Asep akan keluar. Ya, aku memang sengaja berlama-lama di atas sajadah hanya karena bingung mau melakukan apa dengan lelaki yang masih asing ini. Astagfirullah maafin hambamu ini ya Rabb..

Setelah lima belas menit berlalu, akhirnya aku memutuskan untuk bangkit. Membuka dan melipat mukenah dengan sangat pelan untuk kemudian digantungkan di sebuah gantungan baju. Aku nggak suka jika mukenah diliat setelah dipakai. Cepat bau.

Setelahnya, aku berjalan ke arah pintu untuk menuju ke dapur. Aku memang anak orang berada di sini. Tapi ibu selalu memaksaku beraktifitas di dapur setiap pagi dari SMP hingga kini.

Belum sampai tanganku memegang gagang pintu, suara mas Asep menghentikannya. "Bi, saya mau ngomong sesuatu." ujarnya lirih.

Ragu-ragu aku membalikkan badan ke arahnya, "Iya mas."

SabitahWhere stories live. Discover now