23. Titik Terang

1.2K 241 49
                                    

"Bunuh aja gue sekalian!"

"Enggak ada hati!"

Prilly membanting pintu kamarnya amat kuat tanpa peduli tanggapan para pembantu dan manusia lainnya yang berada di dalam rumah akibat ulah tidak sopannya kali ini. Pipi yang lebam dan sudut bibir berdarah di wajahnya justru semakin terlihat menyedihkan ketika tangan Prilly dengan gerakan ringan menyapa benda yang berada di atas meja kabinet. Namun hebatnya, gadis itu tidak menangis. Kedua netranya tidak terlihat sedih sama sekali atas perlakuan yang baru saja dia terima dari orang yang sering dijadikan cinta pertama oleh anak perempuannya.

"Kapan sih gue bener di rumah ini?! Kapan?!" Mata gadis itu menatap nyala pada foto keluarga yang tergantung di atas dinding. Ada kekecewaan dan amarah yang amat besar di matanya ketika menatap foto keluarga yang terlihat bahagia dalam bidikan lensa kamera. "Pernah nggak sekali aja kalian berpikir. Sekali aja kalian ingat kalau di rumah ini ada aku! Ada aku yang kata mereka seharusnya dihujami kasih sayang, Pa!" Dengan amarah yang menggebu-gebu, Prilly menepuk dada kirinya, melampiaskan emosinya tanpa berpikir panjang.

"Kenapa kalian hanya ada di saat aku berprestasi? Kenapa kalau aku sakit, kalian hilang? Kenapa gitu?! Dari kecil, aku selalu sendiri. Enggak ada temannya. Kalian enggak ada di rumah. Semuanya sibuk padahal aku butuh yang namanya orang tua pada saat itu," ujar Prilly emosi, tetapi masih dengan tatapan mata yang sama dari awal.

"Kalian uangnya banyak. Harta tujuh turunan juga nggak bakal habis. Tapi, aku kayak hidup miskin. Aku ngemis ke orang-orang untuk disayang. AKU NGEMIS! Padahal kata kalian uang itu bisa membeli segalanya. Mana?! Apa buktinya? Aku enggak bisa beli sayangnya kalian untuk aku. Enggak bisa!"

Tangan Prilly meraih sebuah miniatur besi dan melemparkannya dengan kuat ke arah bingkai foto raksasa di atas sana. Kaca bingkai tersebut pecah, berhamburan di lantai hingga menimbulkan bunyi serbuan yang tidak enak untuk didengar.

"Ini yang Papa mau, kan? Lihat aku hancur setelah aku dengan berani lawan papa tiga tahun yang lalu? Fine. Ayo, kita hancur bersama, Pa. Kehancuran pertama untuk papa berasal dari aku." Prilly berujar pelan, kemudian berbalik berjalan menuju di mana komputernya berada. Gadis itu duduk tenang di kursinya setelah komputer berhasil menyala. "Aku sudah pernah bilang jika aku bisa membuat Danadyaksa hancur, Pa. Jika tidak hancur, setidaknya jatuh."

Prilly dengan segera membuka pesan masuk elektronik miliknya dan terheran ketika mendapati pesan masuk dari e-mail milik mantan kekasihnya, Arlian Mahavir. Pesan tersebut masuk tepat pukul dua belas malam, sekitar satu setengah jam yang lalu dengan subjek Selamat ulang tahun, Anak baik. Dengan rasa penasaran yang amat besar, Prilly membaca isi pesan tersebut dan betapa terkejutnya ia ketika membaca kalimat yang tertera di layar mintornya.

Ini proposal kerjasama yang bisa kamu ajukan ke Sirius. Jika tidak ingin, jual dengan harga mahal kepada papamu. Usahakan untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan selama ini dengan proposal ini, Ly. I hope you happy, i swear.

Aku pastikan proposal ini milikku 100% dan akan jadi milik kamu seutuhnya begitu pesan ini kamu terima. And i swear, Sirius akan menerima proposal yang aku lampirkan di pesan ini.

Ly, jangan hancur sendirian, oke?

Happy 22ᵗʰ, Princess. Don't forget to happy, ya. Dan ... emmm ... selamat atas gelar sarjanamu, ya. Sorry, aku ingkar janji. Maaf banget karena banyak bohong ke kamu.

Tertanda,

Arlian.

Sederet kalimat yang Ali ketik di badan surat mampu memancing emosi yang tidak seharusnya keluar malam ini. Ini hari kelahirannya dan tak seharusnya Prilly mengeluarkan air mata. Namun, entah mengapa seusai membaca sederet kalimat tersebut, Prilly merasa jika dia tidak sendirian. Prilly merasa punya teman dan tempat pulang yang sesungguhnya. Bahkan keinginan awalnya yang ingin menciptakan kehancuran bagi sang papa langsung sirna hanya dengan melihat alamat surat elektronik milik Ali ada di dalam kotak masuk. Pria itu ... Prilly tidak tahu bagaimana otaknya bekerja. Terlalu misterius dan penuh dengan jebakan-jebakan kecil yang jika Prilly tidak hati-hati, dia akan terjerumus.

Klasik by CAWhere stories live. Discover now