•••
Gandhi gak berharap lebih hari ini, namun sepertinya semesta sedang mengizinkan.
Ketika berjalan seorang diri di area kampus, secara gak sengaja lelaki berhidung bangir tersebut berpapasan dengan Jinan saat berbelok di ujung koridor.
Yang lebih muda nampak menghindari kontak mata dengan cara berpura pura sibuk bermain ponsel, tapi tentu Gandhi gak akan menyia nyiakan kesempatan begitu saja.
"Ji."
Karena sudah dipanggil, mau gak mau si tupai harus menghentikan langkah meski ia sangat ingin segera pergi dari sana.
"Kenapa kak?"
Beranjak ke hadapan Jinan, Gandhi kemudian memutuskan untuk menyampaikan apa yang dia rasa- sama seperti saran dari Kris.
"Kamu kemana aja akhir akhir ini?"
Pemuda manis tersebut tentu paham dengan maksud perkataan yang lebih tua, namun sebisa mungkin Jinan bersikap sebiasa mungkin.
"Gak kemana mana, kenapa emangnya kak?"
"Kamu kayak lagi ngehindarin aku."
Mendengar ucapan barusan sukses membuat Jinan bungkam. Ia memang melakukan hal tersebut tapi siapa sangka Gandhi akan menyampaikannya secara langsung.
"Aku lagi sibuk kak, mungkin perasaan kakak aja-"
"Gak Ji, kamu beda akhir akhir ini."
Baiklah, anggap saja Gandhi terlalu berlebihan, norak dan percaya diri. Namun mau bagaimana lagi? Dia benar benar terganggu dengan perubahan sifat si tupai.
Jinan yang awalnya berniat untuk menjauh secara perlahan, pada akhirnya memutuskan untuk menarik nafas dalam dalam lalu melemparkan pandangan ke arah lain.
Gandhi sadar dan mungkin dirinya harus mengatakan secara terang terangan meski hal itu bisa saja berakhir menyakiti keduanya.
"Aku harap Kak Gandhi gak ngelanjutin apapun yang kakak rasain sekarang."
Ucapan barusan begitu ambigu, harusnya seseorang akan menyerngit bingung ketika mendengarnya. Tapi tidak, Gandhi justru langsung mengerti apa yang ingin Jinan sampaikan.
Mengulas senyum tipis yang cukup menyakitkan, Gandhi masih mencoba tetap bersikap biasa meski dadanya mulai bergemuruh.
"Kamu jijik ya?"
Harusnya Jinan mengangguk lalu pergi sambil membawa serta segala kepura purannya, semua akan berakhir di sana.
Namun yang terjadi justru- anak itu masih terpaku diam, menggantungkan jawaban serta perasaan Gandhi dalam sebuah ketidakpastian.
Yang lebih tua tentu gak bisa membaca isi hati Jinan, maka dari itu Gandhi beramsusi jika si manis menghindar karena merasa jijik dengannya. Cukup menyakitkan.
"Maafin aku Ji, aku juga gak tau kenapa bisa suka sama kamu."
Koridor ini cukup sepi, jadi gak perlu merasa khawatir jika ada orang lain yang mendengarkan percakapan mereka saat ini.
"Aku juga gak tau kenapa bisa suka sama kakak."
Mereka memiliki hati yang sama, hanya saja keadaan terlalu rumit untuk membuatnya mengakui hal sederhana tersebut.
"Aku paham mungkin kamu gak terima sama perasaan menyimpangku, tapi aku mohon Ji, jangan menjauh kayak gini."
Sungguh, apakah Jinan sudah terlihat cukup jahat saat ini?
Melihat sang pujaan hati yang memasang raut kesakitan karena kebohongan yang ia buat- Jinan merasa begitu bersalah ke Gandhi.
Pikirannya kalut, semua terasa campur aduk sekarang.
Gak tahan melihat senyum palsu yang Gandhi pasang, pada akhirnya Jinan secara gak sengaja mengatakan hal yang seharusnya dia simpan sendiri dalam hati.
"Aku gak jijik kak, aku juga gak jauh beda dari Kak Gandhi."
Terjadi jeda keheningan selama lima detik, Jinan seketika memasang wajah terkejut begitu sadar jika dirinya salah berbicara.
Buru buru membalikkan badan, si tupai hendak melangkah menjauh dari sana- jika saja lengan mungilnya gak segera ditahan oleh sang dominan.
"Satu minggu."
Mendengar suara Gandhi, Jinan seketika mengurungkan niat untuk beranjak pergi.
Masih mencekal pergelangan tangan sang pujaan hati, Gandhi kemudian kembali melontarkan ucapan, "Kasih aku waktu satu minggu buat deket sama kamu. Setelah itu aku janji bakal lupain perasaan ini."
Gandhi memang gak terlalu mengerti dengan jalan pikiran Jinan. Tapi ia akhirnya sadar jika pemuda manis itu memiliki alasan di balik perubahan sifatnya belakangan ini.
Di sisi lain, lelaki bermata bulat tersebut langsung dihantui dilema yang hebat. Satu langkah saja maka ia bisa mendekap kebahagiaannya.
Namun sakit hati di masa lalu dan ketakutan akan masa depan seolah menahan Jinan supaya tetap bungkam.
"Aku mohon Ji."
Mendengar suara yang kian memelas, Jinan akhirnya menghentakkan tangan sampai cekalan yang lebih tua terlepas. Bukan, si tupai gak lari menjauh, namun memilih untuk memutar badan sampai menghadap penuh ke arah Gandhi.
Pandangan langsung ia angkat, menatap langsung ke manik kelam sang pujaan hati yang nampak begitu indah.
Mungkin ini keputusan bodoh dan terkesan plin plan, hanya saja, nasihat dari Arsa tempo hari lalu kembali mengingatkannya.
Sekali saja, Jinan ingin keluar dari zona nyaman lalu mempertaruhkan semua hal yang ia miliki dalam perjudian berkedok cinta ini.
"Iya kak."
Lalu pada akhirnya, sebuah anggukan menjadi awal dari permainan semesta yang mereka jalani.
To Be Continue
Tertanda, 24/11/2021
Bee, hujannya deras
KAMU SEDANG MEMBACA
Radio FM [Minsung] ✔
Fanfiction"Selamat malam! Jumpa lagi di Iradio 105.1 FM, bareng Gandhi Arselino, di acara Masih Malam Malam." Hanya kisah sederhana tentang dua pemuda di kota Bandung. __________ 25 Oktober 2021 Copyright ©Schorpy