"Aku denger kamu resign?" Pertanyaan tadi muncul begitu saja dari mulut wanita yang Andara kenal sejak kuliah. Wanita di hadapan Andara itu baru saja duduk namun sudah kepo luar biasa. Untuk ukuran orang yang sudah lama tidak bertemu, teman Andara ini sedikit kurang punya etika. Setidaknya salaman, pelukan atau cipika cipiki. Namun itu tidak. Belum sempat Andara menjawab pertanyaan tadi, kembali si wanita menambahkan beberapa daftar pertanyaan. Atau lebih pasnya tuduhan. "Resign kenapa? Cape kerja sama orang? Apa mau bekerja dan berbakti sama satu orang?"
"Maksudnya?"
"Kawin. Masa gitu aja ngga paham. Bener ngga?"
"Dasar sok tahu. Aku mau fokus bantu Bapak Ibu disini. Kasian, udah tua. Mas Andi kan ngga bisa lagi diharapkan. Sibuk sama pekerjaan dan keluarganya di Jogja. Tau sendiri, istrinya Mas Andi kan protect gila. Dia lupa kali, dulu suaminya itu diurusin dari bayi sampe bisa cari duit banyak, ya karena Bapak Ibu aku. Kamu dapet info itu dari mana?"
"Dari Ali, siapa lagi?"
Andara jengah mendengarnya, lelaki itu, mulutnya benar-benar lemes."Kalau iya memang kenapa?"
"Kalau iya yang mana nih? Resign? Apa kawin? Apa berbakti sama satu orang?"
Andara tak mengangguk maupun menggeleng, ia berusaha acuh dan tak membuka semua hal yang sedang dia rencanakan.
"Bagus deh. Itu artinya cewe di kelas kita semuanya berhasil taken. Kan tinggal kamu aja."
Shit. Ia kira temannya ini akan mendukung dan memberinya semangat. Eh, malah justru mencacinya. By the way, Andara mendadak merasa menjadi makhluk paling buta informasi sedunia. Masa iya, hanya tinggal dia seorang yang belum berpasangan?
Dari puluhan mahasiswa UPI Jurusan Ilmu Pendidikan angkatan 2011 ini loh. Umurnya baru mau menyentuh angka 28, masih 3 bulan lagi tepatnya. Tidak tua-tua amat. Masa sih, teman-temannya yang lain buru-buru sekali untuk berkeluarga? Kenapa? Pertanyaan itu kadang merongrongnya siang malam.
Andara pernah membaca berita online yang menurutnya sangat kekanakan. Bosan belajar daring, beberapa siswa memutuskan menikah. Siswa loh ini, itu artinya mereka masih sekolah, berseragam, entah SMP atau SMA. Dalam hati Andara memaki sang pelaku, lo kira setelah menikah masalah selesai? Daring lo ngga membosankan lagi? Bisa enak-enakan sama suami maksudnya? Terus kalau bosan menikah, lo memutuskan buat cerai? Gitu?? Dasar gila!!!
"Serius Rin?" Seru Andara tak percaya.
"Hmmm, ngga pernah ikutan reuni, ngga pernah juga baca grup Alumni. Gini nih jadinya. Udik!"
Wanita bertinggi 165 cm ini terdiam di bangkunya, Andara tak langsung menjawab karena apa yang Rina katakan benar. Setelah memutuskan pindah ke Bandung untuk bekerja di sebuah tempat les ternama selama 5 tahun, Andara tak pernah sekalipun mengikuti acara-acara yang diadakan rekan-rekan seperjuangannya di kampus dulu.
"Kalau boleh tahu, kenapa akhirnya resign dari tempat anak-anak jenius itu Ra?"
"Bosan. Kerja gitu-gitu aja." Sesaat Andara menegang, apa yang dia rasakan sekarang tak jauh beda dengan anak-anak yang bosan daring itu. Sialan!
"Apa aku ngga salah denger? Seorang Andara Jalisman bosan sama pekerjaan ketemu anak-anak otak encer? Apa karena lama-lama kamu ngga kuat sama pertanyaan-pertanyaan absurd tapi cerdik mereka? Stress ya? Bingung atau gimana?"
"Aku bukan tutor disana, aku cuma duduk di meja kepengurusan. Ketemunya sama bapak-bapak, ibu-ibu yang mutar otak membuat gimana caranya agar bimbel itu terus berkembang, mendatangkan banyak anak dan keuntungan. Udah itu aja. Sama halnya kaya aku sekarang nih bantu Bapak/Ibu di usaha bakso ini, biar terus berkembang dan untung. Sukur-sukur bisa buka cabang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tractable [End]
RomanceAndara tidak memiliki pengalaman menjadi Ibu, tidak juga dekat dengan anak kecil manapun sebelumnya. Setelah berkelana dalam kurun waktu yang panjang, ia akhirnya menikah, memiliki anak, meski belum pernah mengandung dan melahirkan. Apa kalian tahu...