Rekonsiliasi(?)

32 3 0
                                    

Siang itu, aku ada pemotretan untuk promosi lagu baru. Seperti biasa, hawa yang panas membuat keringat mengucur deras, membuatku harus meminta bantuan staff untuk menyekanya agar make up dan gaya rambut yang sudah diatur tidak rusak.

Sejak dulu, aku memang mudah sekali berkeringat. Di mata orang lain, hal itu mungkin tampak merepotkan. Tapi bagiku, itu bukan masalah. Aku tak menganggapnya merepotkan. Dibanding keringat yang kerap mengucur deras, kumis yang tumbuh dengan cepat justru lebih merepotkan bagiku.

Aku sudah terbiasa menyeka keringat sendiri, terutama ketika cuaca panas. Namun, semua itu berubah setelah aku bertemu Jimmy.

Dimulai dari selera lagu yang sama kami menemukan semakin banyak kesamaan pada satu sama lain dan mengikis jarak di antara kami. Kami berdua pun menjadi begitu dekat, bahkan memutuskan untuk tumbuh bersama dan saling mendukung satu sama lain.

Aku peduli padanya dan dia peduli padaku. Karena kebaikan hati dan kepeduliannya, dia selalu membantuku dalam banyak hal, termasuk dalam hal remeh seperti menyeka keringat setiap kali dia bersamaku.

Walau belakangan ini kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing, aku selalu merasa bahwa dia tak pernah beranjak dari sisiku. Namun, semuanya tak sama lagi ketika dia mulai menghindar.

Harus kuakui kalau aku tak juga merasa terbiasa dengan ketidakhadirannya. Bagaimanapun, kami pernah dekat. Sangat sangat dekat.

Haaah ....

Aku mengembuskan napas panjang. Memikirkannya, hatiku kembali terasa berat, membuatku merasa ingin segera menyelesaikan pekerjaan ini.

"P', bisa kita lanjut sekarang?" Kutatap p'Yod, kameramen yang sedang bertugas dengan harapan agar dia mengizinkannya meski waktu istirahat masih tersisa lima menit.

Alih-alih menjawab, p'Yod justru melihat kameranya kemudian mengangkat 3 jari. Dia memintaku untuk memberinya waktu tiga menit.

Baiklah.

Sambil menunggu, aku berniat membuka LINE untuk mengecek riwayat obrolan dengan Jimmy. Walau hanya sekejap, memikirkannya membuat rasa rindu ini semakin kuat. Namun, saat aku menyalakan ponsel, ternyata ada pesan masuk dari p'Zee. Pesan yang membuatku penasaran setengah mati.

P'Zee: Kapan kau punya waktu luang? Ayo makan bersama. Aku punya berita baik untukmu.

Berita baik? Apa? Saat ini, hanya Jimmy yang kuanggap sebagai berita baik.

Sejenak, aku termenung.

Bagaimana kalau berita baik yang p'Zee maksud adalah Jimmy?

Hanya dengan memikirkannya, jantungku berpacu. Namun, aku tak ingin berharap lebih. Bagaimanapun, aku hanya akan merasa kecewa jika apa yang kuharapkan tidak terwujud. Lagi pula, Jimmy belum membaca pesanku sama sekali. Sementara p'Zee dan saudaraku yang lain di Domundi tak pernah mendapat kabar tentangnya. Apa yang bisa kuharapkan?

Bagaimana kalau lusa? Aku ada waktu luang lusa malam.

P'Zee: Baiklah. Kita bertemu di restoran biasa, jam 8 malam.

Restoran biasa yang dimaksud p'Zee adalah restoran yang sering kami kunjungi bersama. Jimmy sangat menyukai sup bening di tempat itu. Seandainya Jimmy bisa ikut, dia pasti akan sangat senang. Hanya dengan memikirkannya, bisa kubayangkan wajah bahagianya. Senyum lebar, mata sipit yang membentuk bulan sabit, dan ucapan terima kasih yang terucap dari bibirnya. Sayang, semua itu hanya cerminan dari harapanku yang semu.

Mengembuskan napas pelan, aku mulai menggerakkan jemari untuk membalas pesan p'Zee.

Oke. Kita bertemu di sana.

Tidak Ada yang Namanya KebetulanWhere stories live. Discover now