Kembali

40 5 0
                                    

"Haruskah kita pergi ke tempat lain?"

Mata yang berkaca-kaca, senyum tipis yang tak mampu menyembunyikan cekungan di pipi, dan tubuh kurusnya menarik perhatianku. Sejujurnya, aku sudah menyadarinya sejak beberapa saat lalu. Namun, saat melihatnya lebih dekat seperti ini, semuanya tampak semakin jelas.

P'Tom mungkin selalu berusaha untuk menyembunyikan semua di balik make up tipis dan senyum manis. Namun, semua itu tak bisa menipuku.

Sama seperti aku, dia menahan semuanya selama kami tak bertemu.

Tempo hari, p'Zee memang sudah mengatakannya, kalau p'Tom khawatir kepadaku. Namun, tak pernah kusangka kalau p'Tom begitu mengkhawatirkanku sampai seperti ini.

Baru kali ini aku melihatnya seperti ini, nyaris tanpa semangat hidup. Tempo hari, aku terlalu takut untuk menerima kenyataan bahwa p'Tom tak lagi membutuhkanku, jadi aku lari. Terus berlari, tanpa tahu bahwa apa yang kuanggap "kenyataan" hanyalah imajinasi.

P'Tom yang ramah dan penuh energi tak bisa kutemukan. Semua ini salahku. Membayangkan bagaimana khawatirnya dia selama hampir dua minggu ini; mata yang sayu nyaris tanpa semangat hidup, wajah yang sedikit pucat, dan senyum yang memudar dari bibirnya; sengatan demi sengatan kecil menghujam jantung. Dadaku sesak dan mataku memanas.

Jika keegoisanku membuatnya seperti ini, aku lebih memilih untuk melepas p'Tom dan membiarkannya terbang bebas bersama siapa pun yang dia inginkan.

Meski sebagian kecil hatiku masih merasa tidak rela, tapi itu jauh lebih baik dari pada melihat daya hidupnya meredup dan mati perlahan.

Sudah kuputuskan. Selama p'Tom bisa tetap tersenyum, tidak masalah meski dia memilih untuk bersama p'New. Semua itu tak lagi penting bagiku. Setidaknya, itulah yang berusaha kutanamkan di dalam hati.

"Nong? Kau menangis?"

Di depanku, p'Tom menatap dengan cemas. Apa yang dia katakan membuatku sadar bahwa mataku sudah basah oleh air mata. Air mata kesedihan bercampur penyesalan.  Dengan punggung tangan, kuseka air mata yang mengalir keluar tanpa izin.

"Nong, kau ... belum siap bertemu denganku, ya?"

P'Tom tersenyum tipis kemudian menunduk. Suaranya parau, sementara kedua matanya basah. Membuatku tak mampu lagi menahan diri untuk tidak menangis bersamanya. Tak lagi peduli dengan fakta bahwa saat ini kami sedang di tempat umum dan ada lumayan banyak orang di sekitar kami.

"Seharusnya kau tidak memaksakan diri untuk menemuiku ...."

Aku memang sedikit memaksakan diri, tapi aku senang bisa bertemu denganmu ....

"Aku akan pulang sekarang. Tapi aku akan menantikannya, hari saat kau siap untuk menemuiku."

P'Tom beranjak dari tempat duduk, melangkah pelan sambil mengusap mata yang basah dengan tangan. Melihat punggungnya semakin menjauh, aku tak sanggup lagi. Aku ingin hubungan kami kembali. Mungkin akan ada yang berubah di antara kami. Mungkin kami juga tak akan sedekat dulu lagi. Tapi aku ingin tetap ada di dekatnya, menjaga dan mengaguminya dari dekat.

"P'!"

P'Tom menghentikan langkah, tapi tak menoleh. Seakan takut untuk mendengar apa yang akan kukatakan.

"Pertanyaanmu ... bolehkah kujawab nanti? Maksudku, bukan di sini."

P'Tom berbalik. Aku menatapnya dan dia menatapku. Kami bertukar pandang dan saling menyelami mata masing-masing. Saling bertukar sapa dan saling bertukar rindu. Dalam diam.

"Uhm."

***

Setelah menenangkan diri sejenak, kami pergi ke komplek taman di dekat apartemen p'Tom. Di pingir sungai, kami duduk bersebelahan, menatap kemilau lampu malam yang berjajar di kejauhan dan semilir angin malam yang sejuk tapi tidak dingin.

Lingkungan ini masih termasuk bagian dari Kota Bangkok. Jadi, suasana pun tidak benar-benar sepi. Ada pasangan yang berboncengan dengan sepeda motor, berpelukan dengan erat. Ada juga keluarga kecil yang tampaknya sedang menikmati waktu bersama dengan berjalan kaki.

Hening. Sudah beberapa menit kami berdua duduk di sini, tetapi p'Tom belum mengatakan apa pun. Aku tahu kalau aku yang membawanya ke sini. Namun, tetap saja rasanya canggung saat dia tak mengatakan apa pun. Sangat canggung, tidak jauh berbeda dengan rasa canggung yang kurasakan tempo hari, saat p'Tom memperkenalkan p'New kepadaku.

Dengan ekor mata, kulirik p'Tom. Rupanya dia sedang memejamkan mata. Entah karena canggung atau hanya sekadar menikmati semilir angin, aku tak tahu. Satu hal yang kutahu, rona wajahnya sedikit berubah. Memang tidak secerah biasanya, tetapi sudah lebih baik daripada beberapa waktu lalu, sebelum kami sampai ke tempat ini.

"Maaf."

"Hm?" P'Tom membuka mata dan menatapku. Kami bertatapan sesaat, tetapi aku langsung mengalihkan pandangan ke arah sungai. Bagai permukaan air yang gelap, misterius dan tampak tenang, tapi menyimpan sejuta gejolak. Seperti itulah perasaanku pada p'Tom. Sesuatu yang bahkan aku sendiri pun tidak mampu mengukurnya.

Haruskah aku mengatakannya? Tentang perasaanku?

Bagaimanapun, apa yang akan kukatakan adalah sesuatu yang dapat menyusahkannya. P'Tom mungkin akan tetap melimpahiku dengan kasih sayang, karena dia orang yang baik. Namun, aku tidak bisa terus mengganggu hidupnya. Hanya dengan membayangkannya saja, aku tidak bisa. Benar-benar tidak bisa sampai mataku memanas dan dadaku sesak.

"Maafkan aku, p'."

" ... "

"Aku terlalu egois," ujarku pelan sambil meremas plushie gurita yang tergantung di tas.

"Aku ingin memilikimu untuk diriku sendiri, p'. Entah apa yang terjadi kepadaku, aku tidak tahu. Yang kutahu, aku tak rela melihat p' bersama kekasihmu."

" ... "

"Aku ... aku ... aku akan berusaha untuk menjauh dari kalian. Jadi, jagalah dirimu p'." Kontras dengan hati yang terasa ngilu, air mataku justru mengalir deras tak terbendung. Padahal, aku tak menatap p'Tom saat mengatakannya. Justru aku menghadap ke arah sungai sambil menutup mata. Tidak siap dengan respons yang akan diberikan p'Tom.

"... "

Sesaat, keheningan hadir di antara kami. Membuat pikiran negatif berkeliaran di pikiranku.

Apa p'Tom pergi meninggalkanku? Esok dan seterusnya apa dia tak mau menemuiku lagi? Kedekatan kami, apa semuanya hanya mimpi?

Embusan napas kasar tedengar dari sampingku, membuatku sontak membuka mata dan melirik ke sumber suara. Di sana, p'Tom tengah memandang ke arah sungai sambil tersenyum tipis.

"Kau tahu, Nong? Aku dan p'New, kami sudah berpisah."

Hah?

Pikiranku yang sudah telanjur kusut menjadi semakin kusut setelah mendengar berita yang dibawa p'Tom.

"Aku pikir aku mencintainya dan bisa mengutamakannya di atas segalanya. Namun, selama dua minggu ini aku sadar, kalau kau lebih penting darinya, Jimmy." P'Tom menoleh, menatapku dengan mata bulatnya yang besar.

"Kurasa, aku tidak benar-benar tahu tentang cinta." Terkekeh, p'Tom kembali melemparkan pandangannya ke sungai.

"Bukan hanya kau, p'. Aku juga."

"Uhm."

"Mungkin kita butuh lebih banyak waktu untuk tumbuh."

"Uhm. Mungkin."

Malam itu, kami berdua duduk lama di tepi sungai. Bukan karena kami banyak mengobrol seperti yang biasa kami lakukan saat bersama, melainkan duduk bersisian sambil memandang sungai. Menikmati semilir angin malam yang membelai, menikmati kebersamaan kami. Kebersamaan penuh makna, meski tak banyak bertukar kata. Membuat kami sadar bahwa hanya dengan kehadiran satu sama lain, hidup kami sudah terasa sangat berarti.

Tidak Ada yang Namanya KebetulanWhere stories live. Discover now