Bab 1

42.2K 3K 95
                                    

"Kenapa di tas lo ada kondom, Ian?!"

Teriakanku menggema di seantero kamar bersamaan dengan ditemukannya sebungkus kondom yang masih utuh di tas Ian. Hidungku mengerut sembari mengangkat bungkusan kondom berwarna merah tersebut sebatas wajah.

"Udah nggak waras ini anak," decakku, geleng-geleng kepala dan melempar kondom tersebut ke atas meja, meminta penjelasan Ian setelah dia bangun nanti.

Segera kucari kunci mobil Ian di dalam tasnya, yang menjadi tujuan awalku membongkar isi tasnya. Kurogoh benda tersebut sampai dasar dan menemukan apa yang kucari-cari sejak tadi.

Meninggalkan waist bag hitamnya di atas sofa dalam kondisi sebagian isinya yang sudah keluar dan tercecer di mana-mana, aku lantas berjalan menuju ruang tamu untuk menemui Geo, salah satu teman baik Ian yang datang untuk mengambil kunci mobil Ian agar dia bisa memindahkan mobil Ian yang tertinggal di parkiran kelab malam ke sini.

"Gue masih bisa bangunin Ian, Ge. Kayaknya lo nggak perlu repot-repot buat bawa mobilnya ke sini, deh," ucapku begitu tiba di ruang tamu.

Geo berdiri dari posisinya, melempar senyum manis yang menampakkan lesung pipi di salah satu wajahnya. "Kasian, Nya. Dia tadi malem minum banyak banget. Pasti itu anak masih teler. Lagi ada masalah kayaknya."

"Nggak papa, nih?" Aku berhenti di seberang Geo, menyandarkan satu lenganku pada kepala sofa.

"Nggak papalah, Nya. Kayak sama siapa aja."

Kuanggukan kepalaku sebanyak dua kali sebelum melemparkan kunci mobil Ian pada pria berpostur jangkung tersebut. Geo langsung menangkapnya dengan sigap.

"Ya, udah, gue cabut dulu, ya. Entar gue chat kalo mobilnya Ian udah nyampe di parkiran apartemen lo."

Sekali lagi aku membuat gerakan mengangguk, berjalan di belakang Geo dengan jarak yang tak terlalu dekat.

"Thanks ya, Ge. Hati-hati," ucapku, yang kini sudah berdiri di ambang pintu setelah Geo tak lagi menginjakkan kakinya di apartemenku.

Geo mengacungkan jempolnya padaku. Sekali lagi memberikan senyum manisnya padaku, yang kata Ian bisa bikin para ABG menjerit kegirangan. Untungnya aku bukan ABG lagi.

Selepas kepergian Geo, aku menutup pintu apartemen dan berjalan menuju kamar tamu, tempat di mana Ian tidur sejak tengah malam tadi.

Malam minggu biasanya memang jadwalnya Ian nongkrong bareng empat teman dekatnya. Dan rupanya pilihan tempat nongkrongnya di malam minggu kali ini adalah sebuah kelab malam.

Bagiku, melihat Ian yang tiba-tiba diantar temannya ke apartemenku dalam keadaan mabuk bukan hal baru lagi. Itu sudah jadi kebiasaan Ian. Mana berani dia pulang ke rumahnya sendiri dalam kondisi seperti itu. Yang ada tante Intan-mamanya Ian-bakal langsung ngerajam itu anak.

Aku juga sebenarnya merasa kesal luar biasa tiap kali Ian mabuk-mabukan. Ditambah lagi tadi aku menemukan sebungkus kondom dalam tasnya.

"Yan, bangun." Aku sudah tiba di dalam kamar, duduk di pinggir ranjang dan mulai menoel-noel pipinya.

Tak ada jawaban dari Ian selain lenguhan panjangnya. Badannya juga bergerak, tetapi hanya mengubah posisi miringnya menjadi telentang dengan kaki yang direntangkan. Matanya bahkan tak terbuka sedikit pun.

Aku menghela napas sembari memutar kedua bola mataku. Membangunkan Ian di pagi hari selalu berhasil membangkitkan emosi. Alhasil, aku memutuskan untuk menyerah meski baru melakukan satu kali percobaan.

Namun, saat aku baru saja berniat untuk mengangkat bokong dari atas ranjang, sebelah tanganku ditangkap oleh Ian, menghentikan pergerakanku.

Kuputar kepalaku ke belakang dan mendapati Ian yang sudah membuka kedua matanya meski tak mengubah posisinya sama sekali. Lalu, dia melempar sebuah senyum padaku. Senyum yang tampak ... lemah?

Boy (Best) FriendWhere stories live. Discover now