Bab 37

28.1K 2.3K 160
                                    

Kericuhan yang terjadi karena kehadiran Ian yang tiba-tiba, berakhir dipisahkan oleh security. Beruntung pemilik kelab malam ini adalah Geo, sehingga tidak harus ada ganti rugi meski furnitur di ruang VIP ini sudah hancur berantakan. Ian dan Meta pun bisa langsung membawaku pulang.

Entah bagaimana keadaan Andra dan teman-temannya. Aku tidak peduli pada sekumpulan orang-orang hina tersebut. Aku bahkan berharap mereka tertimbun oleh tanah dan lenyap dari hidupku selama-lamanya.

Kami sudah berada di luar kelab malam, sedang menuju area parkir. Meta masih terus memapahku, membantuku berjalan karena aku memang membutuhkannya. Sementara Ian berjalan mendahului kami, tampak sedikit tergesa dan aku bisa menyaksikan dari belakang jika bahu Ian tampak menegang.

Tatapanku pada Ian hanya sekilas karena setelahnya aku merasa semakin lemas. Pandanganku jadi sedikit kabur ketika pusing mulai menjalar di kepalaku. Perutku pun mulas dan tenggorokanku masih terasa panas akibat minuman beralkohol yang dipaksa masuk. Namun, lebih dari itu, aku merasakan ketakutan yang luar biasa dan membuatku tanpa sadar menggigil.

Aku benar-benar merasa begitu bodoh. Aku menyesali keputusanku yang tergesa-gesa. Harga diriku sebagai seorang perempuan telah dicabik-cabik oleh Andra—sosok lelaki yang kupilih sebagai calon suamiku, yang kupikir bisa memberikan kebahagiaan dalam hidupku.

Sial! Aku sungguh membenci diriku sendiri saat ini.

Aku menyesal. Sangat amat menyesal.

“Tolong, Ta.”

Suara Ian menyentak kesadaranku. Bersamaan dengan itu pula langkahku berhenti. Rupanya kami sudah tiba di depan mobil. Aku melihat Ian menyerahkan jaketnya pada Meta, memintanya untuk memakaikan jaket tersebut padaku.

Meta lantas kembali mengajakku berjalan beberapa langkah sebelum kami masuk ke dalam mobil, duduk di kursi penumpang bagian belakang. Sedangkan Ian mengambil posisi di balik kemudi. Meta kemudian memakaikan jaket milik Ian di tubuhku yang masih gemetar hebat.

Aku dan Meta sama-sama terkejut saat mendengar suara debuman yang cukup keras, yang rupanya berasal dari Ian yang sedang meninju kuat setir mobilnya.

“Yan.” Meta menegur Ian dan membuatnya langsung berhenti seketika. Lalu, Ian menyalakan mesin mobil dan mulai tancap gas tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.

Aku hanya bisa diam. Lidahku terasa kelu dan mulutku seperti terkunci rapat. Aku hanya bisa menatap Ian dengan pandangan sedih. Kemarahannya bisa kurasakan dengan jelas, dan itu terjadi karena aku, karena aku yang tidak memercayai peringatannya sejak awal.

Kurasakan usapan di bahuku dari Meta. Rupanya tanpa sadar air mataku sudah jatuh membasahi wajahku. Aku menoleh pada Meta dan melihat dengan jelas kecemasan di kedua matanya. Aku pun langsung memeluk Meta dan menumpahkan tangisanku di sana.

•••

“Di apartemen lo aja ya, Yan. Gue takutnya Andra nyamperin Anya ke apartemennya. Dia nekat soalnya,” ucap Meta saat kami baru masuk ke dalam lift.

Ian hanya memberi jawaban dengan sebuah anggukan dan menekan tombol panel lift.

Sama seperti sebelumnya, Meta kembali merangkulku, membantuku berjalan. Sementara Ian tetap berjalan seorang diri. Dia bahkan terus bungkam. Suaranya belum keluar sejak kami meninggalkan kelab malam.

Meta membantuku melepas sepatuku sebelum masuk ke dalam apartemen Ian. Tanpa suara, Ian mengarahkan Meta untuk membawaku ke kamarnya. Dan di sinilah aku sekarang, duduk di atas ranjang king size Ian dengan punggung yang kusandarkan pada headboard dan kaki yang kuluruskan.

“Gue bikinin minuman anget dulu ya, Nya,” kata Meta seraya menyelimuti kakiku. Dia lalu mengusap kepalaku sebelum meninggalkanku seorang diri.

Aku menunduk sembari memijit keningku yang masih meninggalkan rasa pusing. Sesekali meringis karena bagian tubuhku yang lain pun mulai merasakan nyeri. Terutama rahangku yang sempat mendapat cengkeraman dari Andra.

Boy (Best) FriendWhere stories live. Discover now