Epilog

2.5K 131 14
                                    

Aku menghentikan mobilku ke pinggir jalan. Suasana masih sepi. Ternyata baik di kota maupun di desa hari Minggu pukul 06.00 pagi sama saja. Sepi. Belum banyak orang hilir mudik di jalan. Aku membuka pintu mobil dan keluar, kemudian membuka lagi pintu belakang, mengambil satu ikat bunga mawar putih di atas jok kursi belakang. Masih segar ternyata. Aku membelinya kemarin sore di toko bunga di daerah Pandanaran Semarang. Aku tutup lagi pintu mobil dan menguncinya.

Aku berjalan memasuki area pemakaman di pinggir jalan tersebut. Berhenti tepat di depan batu nisan bertuliskan Fatih Muhammad. Kuletakkan bunga tersebut di atas makam.

Assalamualaikum, Ayah. Apa kabar? Sudah berapa lama aku tidak berkunjung ke sini ya. Hmm, mungkin sudah dua bulan. Lama sekali. Maaf ya, Yah. Meskipun aku jarang ke sini tetapi aku tidak pernah lupa mendoakan Ayah dalam setiap salatku.


Sejak Ayah muncul di mimpiku setengah tahun yang lalu, belum sekali pun ayah datang lagi di mimpiku. Sebetulnya aku ingin berjumpa lagi meski hanya dalam mimpi, tapi mungkin sekarang Ayah sudah tenang di sana, ya. Aku dan anak-anak juga sudah menerima kehilangan Ayah dengan ikhlas. Kami sudah hidup normal kembali, Yah.


Sefa sudah kelas 3 SMA. Tahun depan dia masuk Perguruan Tinggi. Cita-cita dia persis seperti yang diinginkan Ayah, yaitu masuk pertanian. Aku mengarahkannya ke IPB, Yah. Ternyata dia tidak mau. Dia ingin tetap di Semarang. Katanya ingin sama Bunda saja.


Aku jadi ingat dulu Ayah ingin Sefa kuliah di Semarang saja. Menemani kita tua. Ayah juga ingin Sefa masuk pertanian agar bisa meneruskan cita-cita Ayah untuk mengembangkan nurseri aglaonema.


Apakah Ayah sudah pernah bilang keinginan Ayah ke Sefa? Kok dia keinginannya sama persis dengan Ayah? Sepertinya Ayah belum pernah ngomong ke Sefa hal itu kan? Karena aku juga tidak pernah mengarahkan dia untuk mengambil pertanian. Aku malah ingin dia masuk HI saja seperti tantenya.


Sesayang itu dia pada Ayah, sampai pikirannya sama dengan Ayah. Mungkin dia ingin menjaga bundanya untuk ayahnya. Sefa memang semanis itu, Yah. Sama seperti Ayah.


Mas Anif sekarang sudah mulai mengerjakan tugas akhir. Doakan tahun depan dia sudah bisa lulus. Sekarang anaknya sedang di Solo, jadi aku sendirian ke sini.


Aku juga masih di Salatiga, Yah. Masih betah di sana. Sambil menunggu tanaman-tanaman yang Ayah tanam di sana. Tanaman tomatnya sudah mati kena fusarium. Tidak terselamatkan. Cabenya sudah berkali-kali panen. Pepayanya sudah mulai berbuah.


Lidah buaya yang Ayah tanam dulu sekarang sudah beranak pinak. Tetapi mawarnya tidak sesubur ketika ada Ayah. Kenapa, ya? Padahal sudah aku pupuk dan rajin aku pangkas.


Aglaonema yang di Semarang masih banyak yang hidup. Hanya tidak sebanyak ketika dirawat oleh Ayah. Kalau anggreknya masih berbunga terus. Anggurnya yang mati kekeringan karena tidak ada yang rutin menyiram. Apalagi di atas kepanasan.


Oya, aglaonemanya sekarang banyak yang aku taruh di bawah. Biar bisa selalu kupandang. Kalau di atas enggak ada yang menikmati. Anggreknya tetap aku taruh di atas. Aku pikir kalau di bawah dia akan sulit berbunga karena di bawah anginnya kurang mendukung.


Aku sekarang sudah baik-baik saja. Semua berjalan dengan baik. Ayah tidak perlu khawatir. Insyaallah aku akan sering ke sini, Yah. Kemarin jarang ke sini karena pandemi menyebabkan pergerakan kita ke luar kota sangat dibatasi.


Ayah, aku rindu.


Sudah dulu ya, Yah. Semoga kita bisa berkumpul lagi di surganya Allah. Amin.

Wassalamualaikum.


Aku melangkah keluar dari pemakaman dengan perasaan damai. Mobilku melaju meninggalkan pemakaman yang sepi. Meninggalkan separuh hatiku di sana.


Tiga Puluh Hari TanpamuWhere stories live. Discover now