8,5 - Ellen is Always Something

7 4 0
                                    

"Senioooor!!! Kemari ke sini! Lihat, lihat! Tuan Matthew dan ayahnya membuat robot keren lagi! Kemarilah, Senior!" sebuah teriakan antusias memenuhi pendengaranku, membuatku merasa terganggu.

Dengan sedikit berat hati kualihkan pandanganku dari rangkaian kalimat pada buku yang tengah kubaca. Ellen, dia datang ke sini 6 bulan setelahku, dan dia begitu berisik. Sangat mengganggu. Sudah terhitung 28 hari kami saling mengenal, dan aku masih tidak menyukai mulut berisiknya itu.

"Bisakah kau tidak berteriak? Ledakan suaramu membuatku pusing," ucapku memijit pelipisku, kesal.

Bukan mengecilkan suara kencangnya itu, Ellen justru tiba-tiba saja sudah ada di sampingku, dan tanpa aba-aba, dengan sangat tidak sopan, dia merangkulku, tertawa lebar serta menggeretku ke arah Tuan Matthew, "Kau harus melihat yang satu ini, Senior! Ini benar-benar keren!"

Dengan malas kulihat alat yang sedang ada dihadapan Tuan Matthew.

"Oh, hai Alton," sebuah suara membuatku mengalihkan perhatianku sebelum berhasil mencerna benda apa yang sedang dibuat si Jenius Mesin itu, menoleh.

"Selamat pagi, Tuan Besar Alberto," sapaku balik, demi sopan-santun aku menarik kedua sudut bibirku, membentuk senyum sebisaku.

Tuan Alberto, ayah Tuan Matthew, usianya mungkin sekitar 50 akhir, rambutnya telah memutih di banyak tempat, dia orang pertama yang mengajakku bicara setelah seorang laki-laki seusiaku membawaku kemari, membantuku.

"Pagi, Alton."

Aku mengangguk, sebelum kembali menatap apa yang sedang dibuat oleh Tuan Matthew.

Butuh dua detik sebelum aku menyadari benda apa itu, dan berlari pergi. Gemetar, berakhir terduduk di salah satu ruangan yang entah aku tak tahu. Aku hanya berlari tanpa arah dan berakhir di sini.

Aku bahkan mengabaikan teriakan Ellen di belakang, serta berbagai teguran yang entah kudapat dari siapa saja sepanjang lorong tadi. Semuanya seperti tak dapat kucerna, aku tidak paham apapun yang perkataan orang di sekitar.

Tubuhku bergetar hebat. Ototku seperti kehilangan semua kemampuan. Jantungku berdegup terlalu kuat hingga aku merasakan sakit pada dadaku. Bulir-bulir keringat yang terasa dingin mengalir membasahi bajuku dalam hitungan detik. Nafasku tidak teratur, panjang-pendek, tidak selesai.

Hanya satu yang ditangkap mataku beberapa saat lalu, bayanganku sendiri pada cermin Tuan Matthew. Aku tidak tahu apa fungsinya, aku tidak tahu apa idenya kali ini. Satu-satunya hal yang aku tahu adalah rasa takut ini tidak terkendali.

Aku tidak paham. Tidak masuk akal rasanya, dari sekian banyak kejadian yang menimpaku hingga usiaku 11 seperti sekarang, kenapa seluruh tubuhku memberikan respon mengerikan setiap kali aku menatap cermin?

Rasa takut itu menggerogotiku begitu saja. Telingaku seakan berdenging, pengang, entahlah. Tidak ada suara yang bisa kutangkap ketika rasa takut ini muncul. Aku seakan hilang kesadaran tapi tidak pingsan.

Ada mungkin sekitar 3 menit aku tergeletak lemas dengan nafas tak beraturan di ruangan dengan luas yang tak seberapa, dipenuhi kardus berdebu yang kini tengah mengelilingiku.

Telingaku sudah kembali normal, begitu juga nafasku. Tidak ada lagi keringat dingin, tapi debaran jantungku masih sedikit lebih cepat dari seharusnya, membuatku memilih untuk tetap di sini beberapa waktu.

Saat itulah, ketika aku berusaha menenangkan diri, suara langkah heboh yang 28 hari terakhir terus mengikutiku terdengar, diikuti derit suara pintu kayu yang bisa dipastikan pintu yang kulewati sebelumnya.

Sungguh, sebelumnya aku tidak sadar bahwa derit pintunya akan benar-benar seburuk ini. Aku mengira hanya butuh 10 kali lagi penggunaan, pintu itu mungkin lepas dari bingkainya. Aku baru menyadari kondisi pintu itu benar-benar buruk!

"Senior?"

Suara yang biasanya melengking nyaring itu entah kenapa untuk pertama kalinya berubah lembut dan menenangkan.

Aku membuka mata perlahan, melihat Ellen yang baru saja melangkah masuk. Wajahnya tampak khawatir, membuatnya tampak berbeda dari biasanya. Entahlah, seperti- ah, aku tidak bisa menjelaskannya.

"Senior apa anda baik saja? Ada apa?" suaranya pelan bertanya padaku dengan hati-hati --- sesuatu yang kala itu belum pernah kudengar, dan kurasa juga belum pernah terdengar lagi setelahnya.

"Saya baik saja.. Saya-"

"Maaf, aku.. Ah, tidak.. Saya.. tidak tahu bahwa anda takut pada cermin.." itu sungguh bukan kalimat ejekan. Hanya ada rasa khawatir dan peduli dalam nadanya, dan aku tahu itu.

"Tidak.. Sa-"

***

"Bagaimana kondisinya?"

Suara penuh karisma itu terdengar, membuatku mengernyit.

"Membaik, Tuan Besar. Meskipun belum sadar, secara menyeluruh, kondisinya sudah stabil dan tinggal menunggu siuman," Ranmaru! Itu Ranmaru!

Aku terbatuk pelan, membuat siapapun yang ada di sekitar membuat pergerakan akibat terkejut.

Sekalipun belum kubuka mataku, tapi aku bisa merasakannya.

"Alton! Kau sudah sadar, hei Bocah?!" sebuah tangan menggenggam lenganku, menggoyangkannya sejenak. Jelas Ranmaru. Mana mungkin Ketua Besar, apalagi orang lain.

Ketua Besar tidak mungkin melakukan hal begitu, sudah karakternya dari kecil, dia dingin. Juga tidak mungkin orang lain. Tidak ada yang berani memanggilku 'bocah' tanpa malu di hadapan Ketua Besar selain mantan napi satu ini, Ranmaru.

"Hm.." berdehem pelan, berusaha membuka mata.

Dengusan Ketua Besar terdengar di telingaku yang tajam, sebelum dia bersuara, "Akan mengherankan jika dia mati. Alton adalah tangan kananku, Maru. Kalau dia sampai mati dengan mudah, aku mempertanyakan seleraku dalam memilih para elite."

Cahaya terang menyapa netraku, disusul sosok Ranmaru yang tampak menahan diri hanya karena ada Ketua Besar.

Aku melirik ke samping, mendapati Ketua Besar bersidekap, "Kita bahas masalah yang terjadi setelah kau pulih," ucapnya tegas untuk kemudian berlalu.

3
2
1

"DASAR BODO-"

Sebelum Ranmaru sempat menyelesaikan teriakannya aku lebih dulu menangkap rahang bawahnya, menatap tajam, "Berhenti mencaci dan beri tahu aku kondisi Ellen," ucapku datar sambil mencengkram pipi Ranmaru.

Demi melihat kondisiku, Ranmaru yang sesungguhnya sudah marah besar, menarik nafas panjang sebelum melepaskan cengkramanku dengan mudah. Wajahnya sudah tampak merah menahan amarahnya sedari aku membuka mata perlahan kembali ke bentuk semula.

Orang yang paling hebat dalam mengelola emosi yang pernah kutemui adalah Ranmaru. Aku tidak berlebihan soal itu, aku serius. Lihatlah ia kini menatapku prihatin, "Ellen.. Kondisinya.."

-To Be Continued

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AlLen - Izinkan Aku MengenalmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang