Pertanyaan Rini jelas membuat Dinda berpikir ke arah yang sama. Sementara Jaya, Agil, dan Deni yang mendengar nama Roy disebut oleh Rini, tiba-tiba mendadak terdiam di tempat masing-masing.
"Iya juga, ya? Kok bisa sama, sih, apa yang gue lihat di restoran tadi sama di ambang pintu warung Mang Jaya?" Dinda tampak berpikir keras.
"Tunggu ... tunggu dulu! Lo bilang tadi sama gue, Neng Hesti itu orang Cijanur juga, 'kan? Terus dia tinggal di mana? Benar, kalau dia bertetangga dan berhadapan rumah sama rumah lo?" tanya Rini.
"Iya, benar. Tapi yang berhadapan sama rumah gue cuma garasi mobilnya doang, Rin, bukan rumahnya. Kalau rumahnya berhadapan sama rumah Pak Agung, mantan Guru gue di SMP," jawab Dinda.
"Dan Neng Dinda lihat genderuwo di restorannya Roy?" Jaya akhirnya benar-benar tak bisa menahan rasa penasarannya.
Dinda kembali menatap ke arah Jaya.
"Iya, Mang Jaya. Benar," jawab Rini, jauh lebih berapi-api, "Dan bahkan, si Roy itu tadi ...."
"Ssttt! Jangan ghibah! Dosa!" Dinda memperingatkan Rini.
"Tapi Din ...."
"Rini, udah. Yang mengalami hal itu 'kan kita berdua, bukan berarti harus dikasih tahu ke Mang Jaya. Kalau Allah aja masih nutupin aibnya orang, terus kenapa kita enggak ikut menutup mulut agar aib orang itu enggak menyebar ke mana-mana? Kalau dia seorang pendosa, maka kita enggak boleh ikut jadi pendosa kayak dia. Mau, dicap tukang gosip? Lagi pula, kita enggak punya bukti yang kuat untuk membuktikan apa yang gue lihat tadi. Beda halnya dengan apa yang gue lihat di ambang pintu warung Mang Jaya. Itu ada buktinya dan Mang Jaya serta Kak Agil udah lihat sendiri. Ingat, terkadang benar itu enggak perlu selalu disertai dengan pembuktian. Cukup kita yang tahu, selanjutnya kita hanya perlu jaga mulut serta jaga jarak dari orangnya. Lo masih ingat kejadian yang terjadi di Ciamis, 'kan? Belajarlah dari pengalaman itu kalau mau tetap selamat dan enggak mendapat teror," tegur Dinda, agar Rini segera berhenti.
Rini pun kini memilih untuk bungkam. Dinda kembali menatap ke arah Jaya yang tampak masih sangat penasaran.
"Maaf, ya, Mang Jaya. Dinda enggak bisa ceritain tentang hal itu sama Mang Jaya. Bukan karena hanya Dinda takut berdosa akibat ghibah, tapi Dinda juga enggak mau kalau sampai keluarga Mang Jaya kena teror makhluk halus hanya akibat dari tahunya Mang Jaya tentang apa yang Dinda dan Rini alami tadi. Intinya saat ini, warung Mang Jaya udah aman dan enggak akan lagi ada yang menghalangi rezeki untuk keluarga Mamang. Insya Allah," Dinda berusaha memberi pengertian pada Jaya.
Tak lama setelah itu, Dinda pun berbalik menoleh ke arah pintu dapur, di mana Deni dan Agil terlihat berdiri di sana.
"Dan untuk Kak Deni dan Kak Agil," ujar Dinda seraya tersenyum ke arah kedua pria itu, "tolong jangan mengindikasikan kalau kalian juga tahu sesuatu yang Dinda alami, ya. Pokoknya, sebisa mungkin Kak Deni dan Kak Agil santai aja kalau ketemu Neng Hesti dan Suaminya," mohon Dinda.
"Tenang Neng, Kak Deni enggak bakalan menunjukkan apa pun kok di hadapan mereka. Tapi ... enggak tahu kalau Agil," ujar Deni sambil melirik ke arah Agil yang ada di sebelahnya.
"Memangnya kenapa sama Kak Agil? Kok, Kak Deni sepertinya ragu begitu sama Kak Agil?" Rini terlihat kebingungan.
Dinda menepak bahu Rini dengan keras, hingga gadis itu meringis kesakitan.
"Kepo banget, sih! Kak Agil enggak kenapa-napa kok dan pasti bisa dia menjaga rahasia. Kak Deni cuma main-main aja. Godain Adek. Masa lo enggak ngerti, sih?" tegur Dinda.
"Ya ... gue 'kan cuma nanya, Din. Enggak perlu main geplak juga, dong. 'Kan, sakit!" rengek Rini.
"Iya, maaf. Kelepasan," ucap Dinda, sambil mengusap-usap bahu Rini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Tumbal
Horror[COMPLETED] Kepindahan Dinda ke rumah baru yang baru saja selesai dibangunnya membawa kenangan masa remaja yang luar biasa menyenangkan. Pasalnya, lingkungan tempat Dinda membeli sebidang tanah dan mendirikan rumah itu adalah lingkungan yang pernah...