Dinda menyibak sebuah tirai berwarna abu-abu seraya mengawasi semua hal yang ada di sekitarnya. Perlahan ia melangkah masuk ke balik tirai yang ia sibak tersebut. Di hadapannya saat itu penuh dengan kabut. Membuat jarak pandangnya tiba-tiba menjadi terbatas. Ia masih memperhatikan sekelilingnya setelah melangkah ke balik tirai. Ia benar-benar waspada dan bersiap jika terjadi serangan tak terduga.
Baru beberapa langkah ia beranjak memasuki tirai abu-abu tadi, Dinda mendadak berbalik ke belakang saat merasakan ada yang menyentuh bahunya. Wajahnya seketika merasa kaget ketika melihat sosok yang sedang tersenyum ke arahnya tersebut.
"Em--emak?" desis Dinda, masih memperhatikan wajah itu.
"Iya, Neng. Ini Emak. Emak kangen sama Neng Dinda. Neng Dinda ternyata masih aja seperti dulu, enggak ada yang berubah," jawab sosok itu, seraya membelai wajah Dinda dengan lembut.
"Ta--tapi 'kan Emak udah ...." Dinda tidak berani meneruskan kata-katanya.
"Neng Dinda mau ikut Emak? Ada yang ingin Emak kasih tahu sama Neng Dinda," pinta sosok itu.
Dinda pun segera mengangguk tanpa berpikir panjang. Sosok itu kemudian menggenggam tangan Dinda dan menuntunnya menuju ke suatu tempat yang tampak seperti sebuah kolam.
"Udah ketemu Agil, Neng?" tanya sosok itu.
Dinda kembali menatapnya seraya tetap berjalan menyamai langkahnya.
"Udah, Mak. Kak Agil sekarang masih sendiri, dia dikecewakan oleh ...."
"Jangan sebut namanya, Neng," potong sosok itu, sedikit memohon.
Dinda pun memutuskan diam dan tak berani bertanya mengapa dirinya tak boleh menyebut nama Hesti. Mereka tiba di tempat yang tadi Dinda lihat seperti kolam. Sosok itu tersenyum pada Dinda lalu menunjukkan apa yang bisa dilihat ada permukaan air kolam tersebut. Dinda melihatnya dengan seksama. Itu tampaknya adalah kilasan masa lalu, dan sosok itu sangat ingin Dinda melihat kilasan masa lalunya.
"Emak terpaksa pergi sebelum waktunya, Neng. Emak terpaksa meninggalkan Bapak, Deni, dan Agil. Karena jika bukan Emak yang mengambil tanggung jawab itu, maka pilihan lainnya adalah Bapak, Deni, atau Agil yang akan pergi sebelum waktunya. Sebenarnya Agil adalah sasarannya waktu itu, tapi Emak enggak mau Agil kenapa-napa. Emak ingat selalu sama kamu dan Emak yakin kalau kamu akan kembali untuk Agil, jadi Emak mengambil keputusan bahwa sasarannya harus berpindah pada Emak," jelas sosok itu, saat Dinda menyaksikan segalanya dari permukaan kolam yang tengah ia tatap.
Dinda pun kemudian kembali menoleh pada sosok itu dan melihat senyumannya yang tak pernah berubah sejak Dinda masih remaja.
"Emak titip Agil ya, Neng Dinda. Jaga Agil baik-baik. Emak yakin, hanya kamu yang bisa menjaganya dan memberinya rasa bahagia. Tolong, akhiri semua perbuatan orang itu. Emak ingin benar-benar pergi dengan tenang," mohonnya.
Kedua mata Dinda mulai berkaca-kaca.
"Mak... Dinda juga kangen sama Emak. Dinda kembali, tapi Emak ternyata udah enggak ada. Semuanya berubah, Mak. Bapak enggak lagi terlihat bahagia seperti dulu. Kak Deni dan Kak Agil juga enggak sama seperti dulu. Mereka mungkin tersenyum di hadapan semua orang, tapi di hati mereka masing-masing ada luka yang begitu besar dan Dinda bisa merasakan luka itu. Perginya Emak adalah pukulan yang hebat bagi mereka dan mereka tampak masih belum bisa mengatasi itu Mak," jelas Dinda.
Sosok itu menyeka airmata yang kini telah bergulir di wajah Dinda. Sosok itu kembali tersenyum.
"Jangan nangis, Neng. Kamu enggak boleh rapuh. Kalau kamu rapuh, maka mereka juga akan rapuh. Tapi kalau kamu kuat, maka mereka juga akan ikut menguatkan diri. Kamu adalah kunci untuk membuat luka yang menganga di hati mereka agar terobati. Ingat baik-baik, jangan pernah menyerah dan terus berusaha untuk menghentikan perbuatan orang itu," pesan sosok itu, sebelum tangan mereka kembali bertaut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Tumbal
Horror[COMPLETED] Kepindahan Dinda ke rumah baru yang baru saja selesai dibangunnya membawa kenangan masa remaja yang luar biasa menyenangkan. Pasalnya, lingkungan tempat Dinda membeli sebidang tanah dan mendirikan rumah itu adalah lingkungan yang pernah...