B 31

3.1K 294 8
                                    

Derren menghampiri Bayu dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Ia sedang dalam perjalanan menuju kafe saat Bayu menelpon berkali-kali. Membuatnya harus menepikan motor di pinggir jalan.

"Bay, gimana?"

"Masih diperiksa," jawab Bayu yang duduk di depan ruang periksa. Jelas sekali raut khawatir dari penuda itu.

"Biya ada merasa sakit?"

"Engga, cuma kata dia tadi pendarahannya nggak mau berhenti."

"Gue harus gimana Bay?"

Bayu dapat melihat jelas raut khawatir dari Derren. Tapi dia juga mencoba realistis sekarang. Setelah melihat yang terjadi pada Biya tadi, ada kemungkinan kandungan Biya ada dalam bahaya.

"Derren, gue nggak tau apa yang terjadi sama Biya dan calon anak kalian, hopefully they'll be oke. Tapi lo juga harus siap dengan kemungkinan terburuk."

"Bay lo kok ngomong gitu sih." Protes Derren mendudukkan diri di samping Bayu. Ia mencoba untuk mensugesti positif pemikirannya, tapi Bayu justru berkata demikian, membuat sugesti-sugesti positif itu menguap.

"Gue bukannya berharap buruk, Der."

"Lo udah kabari keluarga?" Tanya Derren mengalihkan pembicaraan.

"Gue baru kabari lo,"

"Nanti dulu ya Bay, gue nggak mau bikin mereka kha-"

Derren menghentikan ucapannya saat dokter keluar dari ruang periksa.

"Suami pasien?"

"Saya dokter," jawab Derren menghampiri dokter tersebut.

"Mari ikut saya ke ruangan, Pak."

"Gue titip Biya, Bay." Ucap Derren sebelum mengikuti dokter yang dijawab anggukan dari Bayu.

***

Saat keluar dari ruangan dokter, Derren tidak tahu harus bagaimana. Perasaannya campur aduk.

"Abang, ngapain disini?" Derren tidak bisa menahan diri untuk memeluk Dea. Rumah sakit ini memang tempat Mamanya bekerja, tidak mengherankan jika mereka bertemu disini. Mungkin mamanya sedang sift jaga.

"Lho kenapaa?" Tanya Dea bingung, beliau membawa Derren ke ruangannya saat menyadari Derren menangis.

"Kenapa nak?" Tanya Dea setelah sampai di ruangan.

"Biya Ma," jawab Derren justru terisak.

"Stt, kamu tenangin diri dulu," ucap Dea membawa Derren dalam pelukannya. Pelukan yang sudah lama tidak ia berikan karena semenjak dewasa, Derren jarang sekali menangis, setidaknya dihadapannya.

"Jadi?" Tanya Dea saat putranya mulai tenang.

"Kehamilan kosong," dua kata itu, jelas mama Derren tau apa yang terjadi pada menantunya. Pantas saja Derren sampai menangis begini. Dea meraih tangan Derren.

"Biya sudah tau?" Tanya Dea mengingat Derren tadi keluar dari ruang dokter kandungan, jadi kemungkinan belum bertemu Biya.

Benar, Derren menggeleng sebagai jawaban.

"Derren nggak tau harus bilang apa ke Biya, Ma." Ungkap Derren jujur

"Jelasin pelan-pelan bang, ini berat untuk kalian, kamu sedih, Biya juga akan merasakan hal yang sama. Untuk itu harus saling menguatkan."

"Derren nggak bisa liat Biya down lagi." Itu yang sejak tadi Derren khawatirkan. Ia sedih karena kehilangan, ditambah rasa khawatirnya dengan kondisi Biya setelah ini. Ia tidak mau Biya kembali terpuruk.

B [Completed]Where stories live. Discover now