PROLOG

3.9K 300 17
                                    

Pernah ada satu waktu dimana aku ingin menyerah. Melihat wajah itu mengernyit jijik padaku, mendengar mulut itu memaki dan menyakiti hatiku.

Tapi aku tidak bisa menyerah, lebih tepatnya hatiku yang egois tidak pernah mau untuk melepaskan sosoknya.

Giri Randra Wardhana, aku sangat tahu tabiat lelaki itu. Ia angkuh dan arogan, ia hanya bersikap manis pada orang yang ia anggap pantas mendapatkan perilaku manisnya.

Dan sikap manisnya itu tidak berlaku padaku.

Aku hanya orang luar yang sedang sial, karena jatuh hati terlalu dalam pada pria arogan itu.

Aku hanya wanita asing yang ia manfaatkan tanpa paksaan.

Tapi, tidak pernah sekalipun aku membencinya seperti saat ini.

Tidak pernah sekalipun tanganku ingin mencakari wajahnya yang rupawan seperti detik ini.

"Pergi!" kataku, menatap nyalang dirinya yang berdiri mematung di depan pintu.

"Pergiii! Pergiiiii! Aaaaaaaaaaahh pergiiii!" Aku berteriak, menjambak rambutku, merasakan sesuatu yang menjijikan sedang menggerayangi tubuhku saat lelaki itu mendekat.

"Pergii Pergiiii!! Pergiiiiiiii!" suaraku seperti lolongan di tengah malam, kemudian seorang suster datang menghampiri kami berdua.

Aku tak bisa mendengar dengan jelas apa yang suster katakan. Tapi aku tertawa, tawaku melengking saat melihat sosok tinggi itu diseret oleh petugas rumah sakit, meninggalkanku sendirian.

Saat suasana kembali sunyi, aku memandang ke luar jendela yang gelap, melihat derak kegelapan menertawakan diriku, meledekku bagai seonggok belatung diantara bunga-bunga di taman itu.

Tanganku menjulur, apakah ia akan secantik bunga diluar sana? Atau setampan ayahnya?

Tapi dia tidak punya ayah, bahkan tidak punya ibu...

Tubuhku bergetar, hatiku seperti terkoyak, lubangnya memperlihatkan bagaimana jantungku telah remuk karena rasa sakit yang sudah tidak bisa lagi kubendung.

Aku menangis, menusuk diriku sendiri dengan jarum infus yang terpasang, rasa sakitnya bahkan tidak seberapa dengan rasa sakit di hatiku.

Saat menusuki diri sendiri, aku sama sekali tidak bersuara, tidak juga berkedip. Aku hanya merasa puas saat melihat darah di tanganku, meluber, membasahi sprei rumah sakit.

Teriakan seseorang di belakangku membuatku menoleh, aku tersenyum pada orang itu sambil terus menusuki tanganku sendiri.

Aku hanya berharap, aku bisa cepat mati.

***
Draft 1 Agustus 2021

How to Chase Mr. ArrogantWhere stories live. Discover now