Part 2

2.6K 233 41
                                    

Rendra menarik koper dengan tampang sumringah, ia menghirup udara berpolusi Kota Jakarta bahkan dengan senyum yang masih bertengger sempurna di wajahnya yang tampan.

"Iya mih, Rendra udah sampe di bandara. Gak usah jemput, Rendra udah pesen jemputan online."

Lelaki berkemeja biru itu memasukkan ponsel ke kantung celana. Bersenandung selama perjalanannya menuju lobi utama bandara.

Rendra tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya saat akhirnya ia bisa kembali ke indonesia, walau London jauh lebih maju dan ia punya banyak teman di sana, namun Indonesia tetap memiliki tempat spesial di hatinya.

Apalagi Jakarta, ia merindukan kemacetan jakarta, udaranya yang berpolusi dan kebisingannya yang tiada henti.

Tahun ini ia kembali karena memutuskan memulai pekerjaannya di Jakarta. Walau sebenarnya ayahnya juga bingung mengapa Rendra lebih memilih bekerja di Jakarta dibanding London yang seharusnya sangat mudah Rendra dapatkan mengingat bagaimana privillege yang ayahnya miliki di sana.

Tapi sekali lagi, ini karena Jakarta betul-betul menempati bagian spesial di dalam lubuk hatinya. Rendra merasa lebih bahagia saat memijakkan kakinya di tanah air hari ini.

"Pak, nanti kalo udah sampe Gondangdia, bisa langsung ke YPK ya..." Rendra berbicara pada sang supir, memeriksa kotak masuk pesan untuk mengabari ibunya kalau ia hendak mampir ke suatu tempat.

"Masnya gak sakit kan? Kok langsung ke rumah sakit abis dari Bandara?"

"Oh, enggak pak. Saya mau ketemu orang dulu, bapaknya mau nunggu saya sampe selesai dan anter saya ke alamat yang beda gak? Nanti tarifnya disesuaiin aja pak."

"Iya boleh mas." jawab supir dengan tampang yang lebih sumringah karena mendapat rezeki berturut-turut pagi ini.

Rendra masih bersenandung kecil, menikmati bunyi klakson mobil yang berdenging dan beberapa selipan kendaraan beroda dua di jalanan.

Pemandangan begini yang selalu Rendra lihat semasa remaja, bagaimana ramainya Jakarta sebagai pusat ibukota indonesia.

Setelah berbelok ke arah parkiran basement, supir taksi memberitahu Rendra bahwa ia sudah sampai tujuan.

"Bapak ngopi dulu aja di sekitar sini, atau sarapan, nanti saya telepon kalau urusan saya sudah selesai ya."

"Oh iya iya mas. Siap..." Jawab si bapak sambil tersenyum ramah.

Rendra berjalan memasuki lobi rumah sakit dari arah basement, menekan-nekan ponselnya untuk menghubungi seseorang sampai ekor matanya melihat sosok tegap dengan wajah persis seperti dirinya sedang berdiri menjulang di hadapan seorang wanita.

Randra tidak bisa melihat Rendra yang melambai dari tempatnya berdiri, lelaki itu justru mencengkram lengan wanita di depannya yang terlihat kesakitan.

Rendra hendak berteriak memanggil kakaknya, bermaksud membuatnya menoleh dan mencegah perdebatan apapun itu yang sedang terjadi dan berpotensi menimbulkan kekacauan yang lebih besar.

Namun saat melihat wajah wanita yang sedang meringis kesakitan di depan kakak lelakinya, anehnya Rendra tidak bisa mengatakan apapun, bahkan saat butiran-butiran besar air mata mengaliri wajah wanita tersebut, Rendra hanya diam mematung melihat lengan kurus si wanita menampar pipi kakaknya.

Kemudian saat tatapan mereka bertemu, Rendra tak tahu apa yang ada di dalam pikiran wanita itu saat ia justru tertawa, kembali menatap kakaknya dengan pandangan paling kesakitan yang baru pertama kali Rendra lihat selama hidupnya.

***

Ruang rapat di sore hari itu sunyi, manakala tangan kurus putih milik gadis berkucir kuda terangkat ke atas, mengintrupsi seorang senior yang sedang berbicara di tengah kumpulan lingkaran mahasiswa.

How to Chase Mr. ArrogantTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon