Prolog

148 37 42
                                    

Stadion, 12 Februari 2019

Gadis berambut pendek memandang landasan lari lama. Telinganya mendengar sorakan dari kursi penonton, lengkap dengan seruan sang pembawa acara. Meski terik matahari menyengat para peserta, mereka tetap berlari dengan semangat. Gadis itu yakin, seluruh tubuh para peserta sudah laksana hujan berjalan saat ini. Kendati demikian, tak tampak satu pun peserta yang memelankan larinya. Mereka terhanyut dalam adrenalin, berjuang mencapai titik akhir di mana ada pita yang membentang secara vertikal.

Lama mereka berlari mengitari lapangan, ketika salah satu wanita mencapai pita, sorak-sorai semakin riuh. Para pendukung wanita jatuh dalam euphoria, sedang sang wanita itu meletakkan kedua tangan di atas lutut, tampak terengah meski samar sang gadis melihat senyumnya. Setelah itu acara berubah haluan, para pemenang berdiri di atas podium bertingkat. Sembari memegang piala, mereka tersenyum lebar-seakan-akan dunia miliknya seorang.

Satu demi satu mulai meninggalkan bangku penonton, tetapi gadis itu tetap duduk di bangku paling dekat dengan lapangan. Matanya masih menatap lekat lapangan, sejuta pikiran lewat tanpa bisa dirinya cegah, hingga tiba-tiba tepukan pelan di bahunya membuat gadis itu menoleh ke belakang pelan.

"Fri, pulang, yuk. Udah selesai acaranya. Nanti Ibumu cemas lagi," ujar gadis bermata sipit lembut. Rambut hitamnya yang panjang dan tak diikat terkibar saat angin mampir di lokasi mereka.

Frida memandang si gadis lamat, sebelum bangkit dari duduknya. "Maaf menyeretmu ke tempat membosankan seperti ini, Nad."

"Ih, gapapa kok. Aku senang pergi sama kamu. Kita 'kan udah lama nggak jalan bareng lagi setelah kejadian itu." Nadya tersenyum kecil, kemudian sigap melingkarkan tangannya di lipatan lengan Frida. Frida sendiri hanya membalas ucapan Nadya dengan senyum tipis, kemudian dengan kruk di tangan kanannya, gadis itu berusaha berjalan pelan.

Sekali lagi, Frida menoleh ke belakang, pada lapangan yang sempat menjadi dunianya. Tempat di mana dia mencurahkan segala derita, bahagia, dan emosi lainnya. Dalam sekejap semuanya hilang, dan kendati dia masih bisa tersenyum, perasaannya hampir kosong laksana gelas pecah.

Jauh dari lokasi keduanya, tepat di antara bayang-bayang tribun kosong, seseorang memandang interaksi mereka lambat. Tudung hitam yang menutupi rambut gelap ikalnya masih tetap di atas kepala. Meskipun penampilannya tampak sangat mencurigakan, tak ada yang menyadari dia ada di sana.

"Harusnya kamu nggak merebut posisinya, Frida. Lihat, semua usahamu hancur, 'kan."

****

Ruang interogasi, 30 Agustus 2020

"Kalau di sekolah, Giselle biasanya bersikap bagaimana?" tanya seorang pemuda sembari meletakkan secangkir teh di atas meja. Senyumnya terkembang saat mata mereka bertemu.

Sedikit ragu, sang lawan bicara mengambil cangkir teh, menyesap isinya sebelum tampak mulai rileks. Diliriknya pemuda itu sekali lagi, dia memandang lekat papan nama dengan tulisan Dadang di dada kirinya.

"Giselle itu ... suram. Dia tak mau banyak berbicara denganku, hobinya selalu memandang ke bawah jendela tempatnya duduk."

"Selain itu, apa ada hal lainnya?" Dadang kembali melontarkan pertanyaan. Si gadis tampak mulai tak nyaman membuat Dadang tersenyum lagi. "Tenang, saya hanya penasaran. Karena Jiana teman sebangkunya, pasti lebih kenal Giselle, kan?"

Jiana tak segera menjawab pertanyaan Dadang. Gadis itu lebih memilih menyesap teh lagi. Akhirnya, setelah beberapa saat hening Jiana membuka suara.

"Ada satu hal aneh selama beberapa minggu terakhir. Ah, bukan, lebih tepatnya sebulan terakhir."

"Apa itu?"

"Giselle ... dia menulis beberapa kata aneh di bukunya. Aku nggak sengaja melihatnya ketika melirik ke arah jendela."

"Kata-kata aneh? Kata apa?" Dadang mulai memajukan tubuhnya, menyandar sepenuhnya pada meja. Jiana tampak berpikir sejenak.

"Kalau aku tak salah ingat, ada kata; dia kembali, saatnya aku mencari perhatian. Aku hanya bisa melihat kalimat itu, soalnya Giselle segera menutup buku saat menyadari lirikanku."

Usai dengan Jiana, seorang anak laki-laki yang menjadi lawan bicaranya saat ini. Papan nama dengan tulisan Natan Dwilangga tersemat di dada kanan. Dadang kembali tersenyum saat melontarkan pertanyaan.

"Sikap Elle di rumah, ya? Sama saja kayak di sekolah."

"Sama? Maksudnya tak banyak berbicara di sekolah?"

"Apa maksud Bapak? Elle nggak seperti itu. Dia orangnya ceria, jadi nggak mungkin sedikit berbicara."

"Hah?" Dadang tak menduga mendapatkan jawaban seperti itu.

"Tampaknya bapak terlalu mempercayai berita tak benar, ya."

Setelah itu Natan tak menjelaskan hal apapun lagi, dan ketika dia sudah memberikan kesaksian, gadis lainnya masuk ke dalam ruangan.

"Menurutmu, bagaimana sikap Giselle selama di kelas?" Dadang memandang kertas yang dia pegang. Nama gadis yang dia tanyai saat ini ada di sana.

"Maaf, Pak. Saya kurang tahu, soalnya sejak tahun ajaran baru saya masih dirawat di rumah sakit."

"Dirawat? Apa maksudmu?" Pernyataan Dadang gadis itu tanggapi dengan senyum tipis.

"Kecelakaan ketika lomba, Pak."

Tepat ketika jam makan siang, semua murid telah selesai dirinya tanyai. Kendati demikian, pemuda itu masih berada di ruangan. Dilihatnya lagi satu demi satu tulisan kesaksian korban, juga sembari mendengarkan rekaman suara mereka, tapi tak ada satu pun yang membuatnya menemukan jawaban. Kendati demikian, malah semakin kusut benang merah yang sudah susah payah dia atur.

Dadang kembali menghela napas, sembari tetap memandang berkas sebuah gumaman keluar dari bibirnya. "Kasus yang aneh."

Giselle [✓] #WRITONwithCWBPWhere stories live. Discover now