🐺 1. Ace 🐺

8.2K 544 13
                                    

"Gue kenapa sih?"

Di depan minimarket, Yura menggerutu sambil memasukkan belanjaannya ke tas. Entah mengapa hari ini tiba-tiba dirinya membeli banyak makanan manis. Mungkinkah ini pertanda bahwa sesuatu pahit akan datang?

Merasa waktunya habis, Yura bergegas memanggil taksi. Taksi melaju cepat melewati jalanan ibu kota.

Di kantor, Yura berlari memasuki lift. Gadis itu mengatur napas sementara lift bergerak ke lantai lima puluh.

"Yura!"

Seseorang memanggil saat Yura hendak masuk ke ruangannya.

"Nih, oleh-oleh buat lo." Thesa menyerahkan kantong kertas berwarna biru.

Yura memeluk senang hadiah dari sahabatnya. "Makasih, Thes. Gue kira gue terlupakan. Hehe."

"Mana mungkinlah. Nah, kapan-kapan kalo lo pergi ke Paris, jangan lupa bawain gue oleh-oleh."

Ucapan Thesa membuat Yura bingung. Satu alis gadis itu naik, sedangkan mulutnya berucap, "Hah? Paris? Ngapain gue ke sana?" tanyanya.

Thesa gelagapan. Ekspresinya gelisah dengan mata yang selalu menghindar. "Ya sapa tau lo nanti ke sana. Kan cita-cita lo pengen keliling dunia. Kalo nanti mampir ke Paris, bawain gue parfum ya?"

Alasan Thesa memang masuk akal. Yura mengangguk paham.

"Btw, Pak Bos udah dateng, sama—"

Thesa merasakan angin berhembus cepat di depan wajahnya sehingga rambutnya menjadi kusut. Saat membuka mata, ia terdiam memandang Yura yang berlari masuk ke ruangannya.

"Yah … padahal gue masih pengen ngobrol."

🍪🍪🍪

Di balik meja, Yura mengetik dengan cepat laporan yang akan diserahkan tepat pukul delapan. Yura menjambak rambut frutrasi karena lambatnya jaringan internet. Gadis itu harap-harap cemas. Begitu jaringan kembali lancar, jari-jarinya mengetik tiap huruf dengan lihai. Bahkan Yura tidak menyadari bahwa seseorang telah menyusup ke ruangannya.

Mendengar suara benda jatuh, Yura mengalihkan pandangan. Ada seorang anak kecil, laki-laki, wajahnya tampan nan imut. Dia berdiri di dekat rak tinggi. Yura terpukau.

"Halo, Adek. Kamu di sini sama siapa?" tanya Yura ramah. Ia membungkuk di depan balita berambut hitam.

"Cama Papa."

Jawaban bernada imut hampir membuat Yura pingsan.

"Nama kamu siapa?" tanya Yura lagi. Melihat penampilan anak ini, pastinya berasal dari keluarga baik. Jika sampai berkeliaran di lantai lima puluh, harusnya walinya ada di sini juga.

"Es."

"Hah?"

Yura berkedip cepat lalu terdiam. Nama yang disebutkan itu unik, tapi kemungkinan pengucapan yang belum fasih membuat bingung. Hampir saja Yura tertawa. Tangannya mengusap rambut bocah di depannya.

"Es inget nggak ketemu Papa di mana?"

Yura memilih jongkok, tangannya ia letakkan di atas lutut. Dengan senyum ia menunggu jawaban dari Es. Namun, Yura menyadari bahwa anak di hadapannya memperhatikan sesuatu di belakang punggungnya. Yura menoleh, sekaleng permen yang selalu jadi penyemangatnya ketika tersiksa di bawah titah Daren.

Me and My Boss's BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang